Menyongsong Transisi Dari Paud Ke SD Yang Ramah Anak
oleh: Linaria Arofatul Ilmi Uswatun Khasanah, M.Pd, Mahasiswa S3 Pendidikan Dasar Universitas Negeri Surabaya
TULISAN ini terinspirasi dari perkuliahan di Prodi S3 Pendidikan Dasar FIP UNESA https://s3pendidikandasar.fip.unesa.ac.id/ sebagai institusi jenjang S3 yang saya tempuh. Transisi dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ke Sekolah Dasar (SD) merupakan langkah penting dalam perkembangan anak. Namun, proses ini seringkali dihadapkan pada berbagai tantangan yang dapat memengaruhi pengalaman belajar dan perkembangan sosial emosional anak. Dalam konteks pendidikan yang terus berkembang, penting untuk memahami dan menangani problematika ini dengan serius.
Salah satu tantangan utama dalam transisi ini adalah kurangnya persiapan yang memadai baik dari pihak pendidikan maupun orang tua. Banyak anak yang memasuki jenjang SD tanpa pemahaman yang jelas tentang lingkungan belajar yang baru. Di PAUD, anak-anak terbiasa belajar melalui bermain, sementara di SD, mereka dihadapkan pada struktur yang lebih formal dan tuntutan akademis yang lebih tinggi.
Berdasarkan hasil wawancara bersama dengan guru di SD yang menunjukkan bahwa sekitar 25-30% anak menghadapi masalah adaptasi ketika memasuki jenjang SD, terutama dalam aspek sosial-emosional dan akademis. Hal ini disebabkan oleh perbedaan signifikan dalam pendekatan pembelajaran di PAUD dan SD. Di PAUD, anak-anak belajar melalui metode berbasis bermain yang menekankan pada eksplorasi dan pengembangan keterampilan motorik serta kemampuan sosial. Di SD, pembelajaran menjadi lebih terstruktur, dengan fokus pada literasi dan numerasi, serta tuntutan kemandirian yang lebih tinggi. Banyak anak yang mengalami “kaget” saat pertama kali menghadapi tuntutan akademis yang lebih interaktif, sehingga berakibat pada munculnya rasa tidak nyaman dan bahkan stres.
Di sisi lain, perbedaan signifikan dalam metode pembelajaran antara PAUD dan SD sering kali menimbulkan kebingungan. Di PAUD, anak-anak belajar melalui permainan dan eksplorasi, sedangkan di SD mereka harus beradaptasi dengan pembelajaran yang lebih terstruktur dan berfokus pada materi. Ketidakcocokan ini dapat menyebabkan anak merasa cemas saat memasuki lingkungan baru.
Penting untuk menciptakan kurikulum yang menjembatani kedua pendekatan ini. SD perlu mempertimbangkan elemen-elemen pembelajaran yang menyenangkan dan interaktif yang diterapkan di PAUD agar transisi terasa lebih halus dan menyenangkan bagi anak. Penggunaan metode pembelajaran yang lebih inklusif di SD, seperti pembelajaran berbasis proyek dan pembelajaran kolaboratif, dapat membantu mengurangi kecemasan anak dan mendorong keterlibatan mereka.
Dukungan orang tua juga menjadi faktor yang penting karena masih banyak orang tua yang hanya mempersiapkan anak secara akademis seperti mengajarkan huruf dan angka tanpa memperhatikan aspek kesiapan sosial-emosional. Dalam observasi dan wawancara yang saya lakukan, anak yang menerima dukungan emosi dari orang tua, seperti dilibatkan dalam diskusi tentang perasaan mereka atau diberi kesempatan bertahap untuk beradaptasi, menunjukkan tingkat adaptasi yang lebih baik di SD. Mereka lebih percaya diri, tidak mudah cemas, dan mampu berinteraksi dengan teman dan guru baru. Padahal, dukungan emosi ini tidak memerlukan keahlian khusus, hanya komitmen orang tua dalam menciptakan iklim yang nyaman untuk anak di rumah.
Di samping itu, pemerintah juga memegang peran sentral dalam memastikan proses transisi berjalan dengan baik. Kebijakan pendidikan perlu diperkuat dengan mendorong program transisi formal yang dapat diterapkan di seluruh PAUD dan SD, terutama yang berada di daerah terpencil. Pelatihan bagi para guru, baik di PAUD maupun di SD, tentang pentingnya kesiapan transisi yang holistik sangat penting. Pemerintah bisa, misalnya, mengadakan pelatihan kesiapan transisi bagi para guru SD agar mereka memiliki pemahaman lebih mendalam tentang metode pendekatan PAUD dan cara merespons kebutuhan adaptasi anak. Alokasi dana untuk program pengenalan SD, seperti kunjungan anak PAUD ke SD atau kegiatan bersama antara PAUD dan SD, juga dapat membantu anak-anak lebih mengenal lingkungan baru yang akan mereka hadapi.
Dengan adanya kolaborasi yang lebih erat antara PAUD, SD, orang tua, dan pemerintah, proses transisi ini dapat dioptimalkan untuk kepentingan terbaik bagi anak-anak. Melalui pendekatan holistik, mereka akan memasuki SD dengan kesiapan yang lebih matang, baik dari segi emosional, sosial, maupun akademis. Hal ini tidak hanya akan memperkuat fondasi pendidikan anak, tetapi juga membentuk mereka menjadi individu yang tangguh dan siap menghadapi tantangan belajar di masa mendatang.
Dalam konteks yang lebih luas, transisi yang berhasil akan mendukung keberhasilan pendidikan nasional kita. Anak-anak yang berhasil beradaptasi di SD cenderung memiliki perjalanan pendidikan yang lebih stabil dan memuaskan, yang akan mengurangi angka drop-out serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia di masa depan. Jadi, mari bersama-sama membangun sinergi untuk menciptakan proses transisi PAUD ke SD yang lebih manusiawi, mendukung, dan efektif untuk pendidikan generasi mendatang. (*)