Pengaruh Krisis Global Covid-19 Terhadap Nilai Tukar Uang Dan Nilai Rupiah Ke USD
Penulis: Mirza Fany Abdillah, 202110180311066
TABLOIDMATAHATI.COM, MALANG-Pandemi COVID-19 telah menyebabkan krisis global yang berdampak pada berbagai taraf hidup di seluruh dunia. Secara ekonomi, dampak dari pandemi ini sangat signifikan dan berdampak negatif bagi banyak negara, termasuk Indonesia.
Salah satu dampak utama pandemi COVID-19 terhadap prospek keuangan adalah peningkatan premi risiko ekuitas. Premi ekuitas adalah perbedaan antara nilai tukar yang diharapkan dari pasar saham dan tingkat pengembalian bebas risiko. Krisis ini meningkatkan ketidakpastian di pasar keuangan, yang pada gilirannya meningkatkan premi risiko saham. Investor biasanya menuntut pengembalian yang lebih tinggi untuk mengkompensasi risiko yang lebih tinggi dalam lingkungan yang bergejolak.
Selain itu, pandemi juga berdampak pada penurunan pasokan tenaga kerja. Banyak bisnis berjuang untuk melanjutkan operasi karena mobilitas terbatas dan pembatasan sosial. Hal ini menyebabkan PHK, PHK, dan penangguhan karyawan baru. Penurunan pasokan tenaga kerja mempengaruhi produktivitas dan pertumbuhan ekonomi perusahaan secara keseluruhan. Pandemi COVID-19 juga berdampak pada APBN. Untuk menghadapi krisis kesehatan dan dampak ekonominya, pemerintah harus mengalokasikan anggaran tambahan untuk layanan kesehatan, jaminan sosial, bantuan keuangan, dan pemulihan ekonomi. Hal ini mengurangi pengeluaran di sektor lain seperti infrastruktur, pendidikan dan sektor publik lainnya.
Indikator ini mencerminkan Penyebaran pandemi COVID-19 telah memberikan dampak yang signifikan pada berbagai sektor, termasuk sektor ekonomi. Salah satu contohnya adalah adanya tenaga kerja yang dikarantina, yang berdampak pada menurunnya pendapatan perusahaan dan peningkatan jumlah PHK. Data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Republik Indonesia menunjukkan bahwa hingga 5 Mei 2021, jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 di Indonesia mencapai 1.677.274 orang dengan jumlah kematian mencapai 45.796 orang. Selain itu, menurut data dari World Bank Data, tingkat pengangguran di Indonesia pada tahun 2019 sebesar 3,6 persen, meningkat menjadi 4,3 persen pada kuartal II tahun 2020 ketika pandemi COVID-19 dinyatakan oleh pemerintah. Dalam situasi pandemi seperti ini, banyaknya orang yang terinfeksi COVID-19 dan perlu dikarantina, serta himbauan untuk mengurangi aktivitas, memberikan dampak yang signifikan pada roda perekonomian di Indonesia.
Sektor perbankan menjadi salah satu yang terdampak akibat pandemi COVID-19. Salah satu topik menarik dalam isu perbankan adalah Non Performing Loan (NPL), terutama setelah krisis yang sering menerpa dan semakin rentannya posisi perbankan dalam perekonomian konvensional yang menggelembung. Data dari Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan bahwa NPL Perbankan Konvensional pada bulan Maret 2020 senilai Rp.8,858 M naik menjadi Rp.9,562 M pada bulan Mei 2020.
Banyak perusahaan dan usaha kecil menengah (UKM) mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban keuangannya, sehingga berdampak pada pembayaran pinjaman mereka kepada bank. Dampaknya, bank-bank konvensional dapat mengalami peningkatan risiko kredit dan kemungkinan meningkatkan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) mereka.
Tingkat inflasi mengukur tingkat kenaikan harga barang dan jasa di suatu negara selama jangka waktu tertentu. Dalam teori ekonomi, inflasi dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti peningkatan permintaan uang, biaya produksi yang meningkat, atau penurunan suplai barang dan jasa. Jika inflasi terus meningkat, daya beli masyarakat menurun, sehingga mempengaruhi perekonomian negara tersebut.
Tingkat suku bunga adalah biaya yang dikenakan oleh bank untuk meminjamkan uang kepada nasabah. Tingkat suku bunga yang tinggi dapat menunjukkan bahwa bank berhati-hati dalam memberikan pinjaman, karena risiko kredit yang tinggi. Di sisi lain, tingkat suku bunga yang rendah dapat meningkatkan permintaan konsumen dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Secara teori, suku bunga rendah dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi, namun jika suku bunga terus meningkat, hal ini dapat mengakibatkan krisis ekonomi.
Nilai tukar rupiah terhadap US Dollar menunjukkan berapa banyak rupiah yang diperlukan untuk membeli satu dolar AS. Nilai tukar yang stabil dapat menunjukkan kesehatan ekonomi suatu negara, sedangkan nilai tukar yang fluktuatif dapat menunjukkan ketidakstabilan ekonomi atau kondisi krisis. Dalam teori ekonomi, nilai tukar yang rendah dapat meningkatkan daya saing ekspor suatu negara, namun jika nilai tukar terus turun, hal ini dapat mengakibatkan inflasi dan krisis ekonomi.
PENGARUH INFLASI,SUKU BUNGA,DAN IDR/USD TERHADAP PEMBIYAAN
Pertama, ketika menyatakan bahwa efek dari IDR/USD cenderung stabil, kita dapat berasumsi bahwa perubahan dalam nilai tukar IDR/USD tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap tingkat pembiayaan. Hal ini dapat terjadi karena pembiayaan biasanya terkait dengan faktor-faktor domestik seperti kebijakan moneter, permintaan domestik, dan kesehatan ekonomi dalam negeri. Jika pembiayaan tidak secara langsung terpengaruh oleh perubahan nilai tukar mata uang, maka responsnya terhadap IDR/USD akan cenderung stabil. Kedua, ketika menyatakan bahwa efek dari Inflasi cenderung menurun, kita dapat mengasumsikan bahwa pembiayaan cenderung menurun sebagai respons terhadap peningkatan inflasi. Teori yang mendukung hal ini adalah bahwa tingkat inflasi yang tinggi dapat mengurangi daya beli masyarakat, mengurangi investasi, dan mempengaruhi stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Dalam situasi ini, pembiayaan dapat menurun karena permintaan pembiayaan berkurang. Terakhir, ketika menyatakan bahwa efek dari suku bunga menurun secara signifikan, kita dapat berasumsi bahwa perubahan suku bunga memiliki dampak yang besar terhadap tingkat pembiayaan. Teori yang mendukung hal ini adalah bahwa suku bunga mempengaruhi biaya pinjaman dan investasi. Jika suku bunga naik, biaya pinjaman menjadi lebih tinggi, sehingga mengurangi minat dan kemampuan masyarakat atau perusahaan untuk memperoleh pembiayaan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan yang signifikan dalam tingkat pembiayaan. (*)