Pelaku Usaha Mikro dan Kecil: Bagaimana UU Persaingan Usaha Melindungi Mereka?
Penulis: Muhammad Syahrullah. SR, mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah, Universitas Muhammadiyah Malang
DI TENGAH arus digitalisasi dan tuntutan adaptasi menuju Society 5.0, pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) Indonesia menghadapi tantangan berat untuk tetap bertahan dan berkembang. UU Persaingan Usaha yang baru direvisi menjadi harapan baru bagi jutaan UMK agar dapat bersaing secara sehat di pasar yang semakin kompetitif. Namun, implementasi efektif undang-undang ini masih menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan.
Menurut data terbaru Kementerian Koperasi dan UKM, per 2023 terdapat lebih dari 64 juta UMK di Indonesia yang menyerap 97% tenaga kerja nasional. Meski demikian, kontribusi UMK terhadap PDB masih di bawah 60%, jauh tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand (70%) dan Malaysia (65%). Hal ini mengindikasikan masih rendahnya daya saing dan produktivitas UMK Indonesia.
Salah satu faktor utama yang menghambat perkembangan UMK adalah praktik persaingan usaha tidak sehat yang kerap dilakukan pelaku usaha besar. Kartel, monopoli, dan predatory pricing menjadi momok yang mengancam kelangsungan usaha para pelaku UMK. Di sisi lain, revolusi industri 4.0 dan transformasi digital membuat gap antara UMK dengan usaha besar semakin lebar.
UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang baru direvisi pada 2023 lalu membawa angin segar bagi perlindungan UMK. Beberapa poin krusial dalam revisi UU ini antara lain:
- Penguatan definisi dan cakupan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, termasuk yang terjadi di ranah digital.
- Peningkatan sanksi dan denda bagi pelanggar, dengan besaran yang disesuaikan omzet perusahaan.
- Pemberian kewenangan lebih luas kepada KPPU untuk melakukan investigasi dan penegakan hukum.
- Pengaturan khusus terkait perlindungan dan pemberdayaan UMK dalam menghadapi persaingan usaha.
- Pengaturan mengenai kemitraan yang adil antara usaha besar dengan UMK.
Meski demikian, implementasi UU ini masih menghadapi sejumlah tantangan. Berdasarkan survei yang dilakukan Lembaga Penelitian Ekonomi dan Bisnis (LPEB) pada 2023, hanya 35% pelaku UMK yang memahami substansi UU Persaingan Usaha. Sementara itu, 70% responden mengaku pernah mengalami praktik persaingan usaha tidak sehat, namun hanya 10% yang melaporkannya ke KPPU.
Di era Society 5.0 yang mengedepankan integrasi dunia fisik dan digital, perlindungan UMK harus diperluas ke ranah online. Praktik predatory pricing oleh e-commerce besar dan monopoli data oleh platform digital menjadi ancaman serius bagi UMK. UU Persaingan Usaha yang baru telah mengakomodasi hal ini, namun diperlukan aturan turunan yang lebih detail dan aplikatif.
Beberapa langkah konkret yang dapat diambil pemerintah untuk mengimplementasikan UU Persaingan Usaha dalam melindungi UMK di era Society 5.0 antara lain:
- Membentuk satuan tugas khusus di KPPU yang fokus pada perlindungan UMK di ranah digital.
- Memperkuat kemitraan antara KPPU dengan asosiasi e-commerce dan marketplace untuk mencegah praktik persaingan usaha tidak sehat di platform digital.
- Mengembangkan sistem pelaporan online yang user-friendly bagi UMK untuk melaporkan dugaan pelanggaran.
- Memberikan insentif pajak atau kemudahan perizinan bagi perusahaan besar yang menjalin kemitraan adil dengan UMK.
- Mengintegrasikan materi UU Persaingan Usaha dalam kurikulum pelatihan dan pendampingan UMK yang diselenggarakan pemerintah.
- Meluncurkan kampanye literasi digital yang berfokus pada aspek persaingan usaha sehat di platform online.
- Mendorong pengembangan teknologi blockchain untuk menciptakan transparansi dalam rantai pasok dan mencegah praktik kartel.
- Memperkuat kerja sama internasional dalam penegakan hukum persaingan usaha, terutama terkait perusahaan multinasional dan platform digital global.
Implementasi UU Persaingan Usaha dalam melindungi UMK sejalan dengan beberapa Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 8: Decent Work and Economic Growth, SDG 9: Industry, Innovation and Infrastructure, SDG 10: Reduced Inequalities, dan SDG 16: Peace, Justice and Strong Institutions.
SDG 8 sangat relevan karena UU Persaingan Usaha yang melindungi UMK berkontribusi langsung pada penciptaan lapangan kerja yang layak dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Dengan mencegah praktik monopoli dan persaingan tidak sehat, undang-undang ini memungkinkan UMK untuk bertahan dan berkembang di pasar yang kompetitif. Hal ini pada gilirannya mendorong diversifikasi ekonomi, meningkatkan produktivitas, dan mendukung kewirausahaan. Sebagai contoh, pencegahan predatory pricing oleh perusahaan besar memungkinkan UMK untuk menetapkan harga yang wajar, sehingga dapat membayar upah yang layak kepada karyawannya dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Perlindungan UMK melalui UU Persaingan Usaha juga mendukung SDG 9 dengan memfasilitasi integrasi UMK ke dalam rantai nilai dan pasar, terutama di era digital. Undang-undang ini mendorong inovasi dan upgrade teknologi di kalangan UMK untuk meningkatkan daya saing mereka. Selain itu, regulasi yang adil dapat meningkatkan akses UMK terhadap jasa keuangan dan pasar, serta mendukung pengembangan infrastruktur yang inklusif. Misalnya, regulasi yang mencegah monopoli platform digital mendorong UMK untuk berinovasi dan mengadopsi teknologi baru tanpa takut tersisih oleh pemain besar, sejalan dengan tujuan SDG 9 untuk mendorong industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan.
Dalam konteks SDG 10, UU Persaingan Usaha berkontribusi signifikan pada pengurangan ketimpangan. Undang-undang ini menciptakan kesempatan yang setara bagi UMK untuk bersaing di pasar dan mencegah konsentrasi kekayaan pada segelintir perusahaan besar melalui larangan praktik monopoli. Lebih jauh lagi, dengan memberdayakan kelompok marginal, termasuk perempuan dan masyarakat pedesaan yang banyak bergerak di sektor UMK, undang-undang ini mendorong inklusi ekonomi yang lebih luas. Pengaturan kemitraan yang adil antara usaha besar dan UMK, misalnya, dapat membantu mengurangi kesenjangan pendapatan antara pengusaha besar dan kecil, sesuai dengan tujuan SDG 10 untuk mengurangi ketimpangan.
Terakhir, implementasi UU Persaingan Usaha juga mendukung SDG 16 dengan mempromosikan supremasi hukum dan keadilan ekonomi bagi semua pelaku usaha. Undang-undang ini berperan dalam mengurangi korupsi dan suap melalui transparansi dan pengawasan dalam praktik bisnis. Penguatan institusi seperti KPPU menjadi kunci dalam mengembangkan lembaga yang efektif, akuntabel, dan transparan. Selain itu, proses penyusunan dan implementasi undang-undang ini mendorong pengambilan keputusan yang responsif, inklusif, dan representatif dalam kebijakan ekonomi. Sebagai contoh, penguatan KPPU dan sistem pelaporan yang mudah diakses memberi UMK sarana untuk mencari keadilan ketika menghadapi praktik persaingan tidak sehat, sejalan dengan tujuan SDG 16 untuk membangun institusi yang kuat dan memberikan akses keadilan bagi semua.
Dengan menghubungkan implementasi UU Persaingan Usaha dengan SDGs ini, kita dapat melihat bahwa perlindungan UMK bukan hanya masalah ekonomi semata, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan yang lebih luas. Pendekatan holistik ini penting untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh UMK dapat berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, sejalan dengan prinsip-prinsip SDGs untuk tidak meninggalkan siapapun dalam pembangunan.
Salah satu inovasi yang potensial adalah pengembangan platform blockchain khusus UMK. Platform ini dapat memfasilitasi transaksi peer-to-peer antar UMK, sekaligus menciptakan transparansi yang mencegah praktik persaingan usaha tidak sehat. Beberapa negara seperti Singapura dan Korea Selatan telah menginisiasi proyek serupa dengan hasil yang menjanjikan.
Di sisi lain, peran aktif masyarakat sipil dan akademisi juga krusial dalam mengawal implementasi UU Persaingan Usaha. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) UMK yang dibentuk oleh koalisi perguruan tinggi dan LSM dapat menjadi mitra strategis KPPU dalam melakukan pengawasan dan advokasi.
Tantangan lain yang perlu diatasi adalah kesenjangan digital antar daerah di Indonesia. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa hingga 2023, masih ada 12.500 desa yang belum terjangkau internet broadband. Hal ini tentu menjadi hambatan bagi UMK di daerah tersebut untuk bersaing di pasar digital.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dapat menggandeng perusahaan telekomunikasi besar melalui skema kemitraan yang diatur dalam UU Persaingan Usaha. Misalnya, pemberian insentif bagi operator yang membangun infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) dengan syarat memberikan akses gratis atau bersubsidi bagi UMK setempat.
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah kesetaraan gender dalam dunia usaha. Data BPS menunjukkan bahwa 64% UMK di Indonesia dijalankan oleh perempuan. Namun, mereka sering kali menghadapi hambatan tambahan seperti akses pembiayaan yang lebih sulit dan beban ganda sebagai pengusaha dan ibu rumah tangga.
UU Persaingan Usaha dapat diintegrasikan dengan kebijakan pemberdayaan perempuan untuk menciptakan iklim usaha yang lebih inklusif. Misalnya, memberikan insentif khusus bagi perusahaan besar yang menjalin kemitraan dengan UMK yang dijalankan perempuan, atau memprioritaskan UMK perempuan dalam program pendampingan dan literasi digital.
Dalam konteks Society 5.0, perlindungan UMK juga harus mencakup aspek keamanan siber dan perlindungan data. UMK yang baru memasuki ranah digital sering kali rentan terhadap serangan siber dan penyalahgunaan data pelanggan. KPPU dapat berkolaborasi dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk menyusun panduan keamanan siber yang mudah diimplementasikan oleh UMK.
Lebih jauh lagi, revolusi industri 4.0 membawa tantangan baru berupa otomatisasi dan kecerdasan buatan (AI) yang berpotensi menggantikan peran UMK di beberapa sektor. UU Persaingan Usaha perlu diantisipasi untuk mengatur penggunaan teknologi AI oleh perusahaan besar agar tidak menciptakan monopoli atau mematikan UMK.
Implementasi efektif UU Persaingan Usaha juga membutuhkan penguatan kapasitas KPPU. Anggaran KPPU yang hanya sekitar Rp 125 miliar per tahun (2023) dinilai masih jauh dari cukup untuk mengawasi persaingan usaha di negara sebesar Indonesia. Peningkatan anggaran dan SDM KPPU harus menjadi prioritas dalam APBN mendatang.
Di sisi lain, digitalisasi proses bisnis KPPU juga mendesak untuk dilakukan. Pengembangan sistem AI untuk mendeteksi anomali harga dan pola kartel di pasar online, serta blockchain untuk menciptakan transparansi dalam proses tender pemerintah, dapat meningkatkan efektivitas pengawasan KPPU secara signifikan.
Kolaborasi internasional juga menjadi kunci dalam menghadapi tantangan persaingan usaha di era digital. Indonesia dapat menginisiasi forum ASEAN khusus untuk harmonisasi kebijakan persaingan usaha, terutama terkait regulasi platform digital lintas negara.
Menariknya, beberapa negara telah mengambil langkah berani dalam melindungi UMK dari dominasi platform digital global. India, misalnya, telah memberlakukan aturan yang mewajibkan e-commerce asing untuk bermitra dengan UMK lokal. Sementara Uni Eropa menerapkan Digital Markets Act yang membatasi praktik monopolistik platform digital besar.
Indonesia dapat belajar dari praktik-praktik terbaik ini dan mengadaptasinya sesuai konteks lokal. Misalnya, mewajibkan marketplace besar untuk mengalokasikan persentase tertentu dari ruang iklan mereka bagi UMK secara gratis, atau membatasi kepemilikan data konsumen oleh platform digital untuk mencegah monopoli informasi.
Implementasi UU Persaingan Usaha juga harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan. UMK yang bergerak di sektor ramah lingkungan seperti energi terbarukan, pertanian organik, atau ekonomi sirkular sering kali kesulitan bersaing dengan perusahaan besar yang masih mengandalkan praktik tidak ramah lingkungan.
KPPU dapat mempertimbangkan faktor keberlanjutan dalam menilai praktik persaingan usaha. Misalnya, memberikan kelonggaran khusus bagi kemitraan antar UMK di sektor hijau, atau memprioritaskan investigasi dugaan praktik tidak sehat yang merugikan UMK ramah lingkungan.
Terakhir, penting untuk memastikan bahwa implementasi UU Persaingan Usaha tidak justru menciptakan beban administratif yang memberatkan UMK. Prinsip “think small first” harus menjadi panduan dalam menyusun aturan turunan dan prosedur pelaporan. Misalnya, dengan menyediakan pendampingan gratis bagi UMK yang ingin melaporkan dugaan pelanggaran, atau membuat sistem self-assessment online yang mudah digunakan.
Implementasi UU Persaingan Usaha yang efektif dalam melindungi UMK bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga membutuhkan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat.
Asosiasi pengusaha, akademisi, media, dan masyarakat sipil harus bersinergi dalam mengawal pelaksanaan undang-undang ini.
Dengan pendekatan yang holistik, inovatif, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi, UU Persaingan Usaha dapat menjadi katalis bagi terwujudnya ekosistem bisnis yang adil dan inklusif di era Society 5.0. Pada akhirnya, perlindungan dan pemberdayaan UMK bukan sekadar tujuan ekonomi, tapi juga langkah strategis menuju Indonesia yang lebih sejahtera dan berkeadilan. (*)