Menjadi Kartini (sebuah perenungan)
Penulis: Dr. dr. Alfa Sylvestris, SpM, dokter-dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.
HARI ini tepat 21 April, hari yang diklaim oleh negara ini sebagai hari peringatan mengenang Ibu Kartini.
Hari ini sering kali diterjemahkan sebagai hari memperingati kemampuan seorang perempuan yang multitasking, jadi ibu dan istri sekaligus menggeluti karier di luar sana. Semua perempuan pada ramai-ramai pasang foto multitaskingnya…aku emak-emak sekaligus wanita karier lho. Ibu-ibu rumah tangga jadi pada minder…apa berarti aku ‘kurang Kartini’ yah dibanding mbak dokter sebelah rumah atau bunda dosen depan rumah?
Apakah demikian ya esensi peringatan hari ini?
(nah jadi pada mikir kan?)
Dangkal sekali bila melihat esensi diperingatinya hari ini sebagai hari Kartini aka hari multitasking perempuan Indonesia. Sejak jaman purbakala sepertinya perempuan aslinya sudah ditakdirkan jadi multitasking, jadi nothing special about this. Kita para perempuan sudah biasa masak sambil cuci piring, jadi dokter keluarga sekaligus jadi konsultan psikolog anak dan suami, kerja di luar rumah sekaligus membereskan pekerjaan rumah tangga, ya kan ibu-ibu?
Jadi apa dong yang spesial dengan ibu kita Kartini yang putri sejati ini?
Spesialnya adalah…beliau orangnya visioner. Titik.
Beliau tidak melihat saat ini, tapi berpikir sepuluh, seratus, seribu langkah di depan.
Apakah hanya beliau ibu kita Kartini orang yang visioner?
No. Banyak tokoh-tokoh perempuan yang juga visioner. Contohnya Ibunda Khadijah ra, ibunda Nyai Ahmad Dahlan, dan banyak perempuan-perempuan dunia dan Indonesia yang terkenal karena inovasinya visinya yang luar biasa. Ibunda Khadijah ra visioner, karena beliau mewakafkan seluruh hidup dan hartanya untuk dakwah baginda Rasulullah saw. Visi beliau bukan buat dunia tetapi akhirat, sehingga baginda Rasulullah saw dapat berdakwah dengan maksimal atas dukungan istri beliau ini. Manfaatnya bisa kita rasakan hingga saat ini.
Ibunda Nyai Ahmad Dahlan mendirikan gerakan ‘Aisyiyah sebagai pendamping organisasi Muhammadiyah dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Sekarang kita bisa melihat seberapa banyak sekolah ‘Aisyiyah dan Rumah Sakit ‘Aisyiyah tersebar di seluruh Indonesia.
Inilah visioner itu.
Jadi semua perempuan apapun profesinya bisa menjadi visioner. Karena visioner ini adalah pemikiran. Berpikirlah ke depan, bukan hanya berfikir satu dua langkah di depan…tapi seribu langkah di depan kalian. Bagaimana caranya?
Caranya adalah dengan memetakan impian kalian.
Petakan…saya mau seperti apa nantinya. Keluarga saya mau bagaimana nantinya. Lingkungan sekitar saya mau seperti apa nantinya. Bangsa ini mau seperti apa nantinya. Lalu buat langkah kecil menuju ke sana, lanjutkan dengan konsisten menjalaninya.
Oh saya mau sehat di masa tua, pengen melihat cucu saya lulus kuliah. Ya ayo jaga kesehatan, olah raga, jaga makanan, rutin cek kesehatan. Bergeraklah.
Oh saya ingin keluarga saya nantinya masuk surga bersama. Ya ayo dikuatkan usaha ke sana, dijaga ibadah kita, suami, dan anak-anak semaksimal mungkin. Bergeraklah.
Oh saya ingin Kota Malang jadi kota yang bersih, gak panas lagi, bebas macet. Ya ayo mulai jaga kebersihan lingkungan, ajak sekitar kita juga mulai peduli kelestarian lingkungan.
Bergeraklah.
Demikian seterusnya.
Kalian ingin apa puluhan tahun ke depan. Ya ayo diwujudkan mulai dari sekarang.
Tidak harus jadi dokter, jadi dosen, jadi astronout untuk bisa dianggap ‘paling Kartini’.
Karena visioner ibu Kartini adalah masalah pemikiran dan pergerakan, bukan masalah profesi.
Anda mungkin akan dianggap ‘kurang Kartini’ kalau visi anda hanya dipikir sambil rebahan tanpa pergerakan.
Demikian,
Selamat Hari Kartini para perempuan Indonesia. Salam sayang, -dari seorang perempuan yang suka berpikir dan bergerak- Alfa Sylvestris, Malang 21 April 2025.