Dosen UMMAD Soroti Politik Gagasan Nyaris Tidak Ada, Politik Uang Mendominasi
TABLOIDMATAHATI.COM, MADIUN – Jumlah pemilih pemula yang mencapai 30 persen dari total pemilih pada Pemilu mendatang jadi lumbung suara yang rawan terhadap serangan praktek politik uang dari para aktor politik yang menjadi kandidat.
Hal tersebut disampaikan tenaga pengajar Universitas Muhammadiyah Madiun (Ummad), Nuril Endi Rahman dalam dialog Program Gerakan Cerdas Memilih Indonesia Bisa yang dilakukan RRI Madiun (PRO1 RRI Madiun) pada Kamis, 14 September 2024.
Dialog Program Gerakan Cerdas Memilih Indonesia Bisa ini disiarkan langsung melalui saluran Youtube RRI Madiun tersebut menghadirkan tema Proteksi Pemilih Pemula dari Bahaya Laten Praktek Politik Uang dalam Pemilu.
“Dengan jumlah pemilih pemula lebih dari 30 persen tersebut, sangat rawan praktek politik uang oleh aktor politik, apalagi yang sudah punya jam terbang tinggi,” ujar tenaga pengajar Prodi Kesejahteraan Sosial FISIP Ummad tersebut.
Secara teori, praktik politik uang ada 2 bentuk yaitu vote buying atau pembelian suara secara langsung atau serangan fajar dan yang kedua adalah pork barrel yang sifatnya programatic.
“Politik uang yang sifatnya programatic terutama dilakukan oleh petahana. Mereka yang mempunyai kekuataan punya keuntungan bisa memanfaatkan fasilitas program seperti bansos dll yang dilakukan jelang pemilu.
“Itu keuntungan tersendiri bagi petahana. Itu masuk politik uang tapi lebih advance,” kata Nuril.
Sistem pemilu terbuka saat ini membuat praktek politik uang terbuka lebar karena Pemilu jadi arena yang bebas bagi kandidat yang penting mereka jadi (bupati, anggota legislatif, presiden).
Apapun yang bisa dikeluarkan entah modal ekonomi sosial budaya semua dikerahkan aktor politik untuk kemenangan dalam pertarungan elektoral,” kata Nuril Endi Rahman.
Nuril menerangkan praktik politik uang tidak nampak kasat mata namun menimbulkan bahaya laten namun memiliki efek jangka panjang bagi nasib pemilih pemula.
Nuril kemudian menyampaikan hal lain mengenai nyaris tidak adanya politik gagasan yang kuat dari aktor politik baik perorangan maupun partai politik yang bisa menandingi politik uang yang sudah lazim dilakukan .
“Sepanjang saya melakukan penelitian politik, nyaris tidak ada aktor politik yang punya gagasan khusus bagi pemilih pemula. Apa sih yang ditawarkan untuk pemilih pemula, tidak hanya menjual murah suara 100 ribu untuk 5 tahun,” terang lulusan Universitas Gajahmada itu.
Nuril berpandangan politik gagasan itu masih belum terlihat di akar rumput. Hal yang dijual popularitas untuk mengejar elektabilitas dengan menjalankan politik uang itu tadi.
Untuk mengatasi praktek politik uang ini, maka perlu peran Bawaslu yang memiliki konsep pengawasan bagus.
Bawaslu perlu mendorong peran Panwascam dan pengawas desa untuk melakukan pengawasan secara lebih mendalam mengingat pertarungan elektoral itu terjadi di tingkat akar rumput.
“Jadi panwascam dan pengawas desa punya peran sentral dalam pencegahan money politik. Mereka sosialisasi tentang bahaya praktek poltik uang selain mengajak masyarakat terlibat dalam pengawasan partisipatif.
Nuril menyebutkan, pencegahan praktek politik uang untuk pemilih pemula bisa dilakukan secara preventif atau jangka pendek dan menengah serta pre-emtiv atau jangka panjang.
Hal itu, diungkapkan Nuril, sudah dilakukan oleh lembaga pengawasan Pemilu di Yogyakarta yang menekankan pemahaman bahwa Pemilu adalah proses menemukan pemimpin yang ideal.
Mereka juga menerangkan praktek politik uang memiliki dampak jangka panjang bagi masa depan pemilih pemula dan mengancam kedaulatan pemilu.
Tujuan pencegahan pre-emtif ini untuk memberikan kesadaran level tinggi yang secara perilaku dipraktekkan dengan menolak secara otomatis apabila menjadi target praktek politik uang.
Menyinggung penegakan hukum terhadap praktek politik uang, Nuril menyebut, secara aturan, Bawaslu memiliki peraturan yang bagus.
Namun dalam prakteknya, penegakan hukum oleh Bawaslu memiliki tantangan yang besar.
Pelapor politik uang harus memenuhi unsur materill dan formil pelanggaran hukum yang berlaku, jadi pelapor harus menyertakan bukti dan yang memberikan uang atau barang harus disertai ajakn untuk memilih si kandidat.
“Dalam realitasnya makin canggih, beraneka bentuk, belum lagi soal programatic. sagat sulit dijangkau. mungkin yang bisa ditindak yang terang-terangan. Namun yang punya efek jangka panjang itu sulit,” kata Nuril. (pujoko)