Ternyata Kader Nasyiah Ikut Perang di Zaman Penjajahan
TABLOIDMATAHATI.COM, JAKARTA-Sebuah foto berwarna hitam-putih menampilkan empat sosok perempuan berkebaya lengkap, rambut disanggul, memosisikan satu orang duduk dan tiga lainnya berdiri berjajar menghadap kamera. Foto itu menjadi pembuka presentasi yang disuguhkan Mu’arif, sejarawan Muhammadiyah dalam Refleksi Milad 95 tahun Nasyiatul Aisyiyah yang digelar secara daring, Sabtu (15/7).
Foto tersebut ternyata potret pengurus Nasyiah yang pada saat itu masih bernama Siswo Prdojo Wanita (SPW). Diskusi tentang sejarah Nasyiah di masa revolusi menjadi magnet tersendiri bagi para peserta Refleksi Milad 95 tahun Nasyiah yang hadir melalui telekonferensi Zoom.
Salah satu kisah paling menarik yang dibawakan Mu’arif ialah tentang peran kader Nasyiah di zaman penjajahan.
Siapa pahlawan yang kita kenal turun langsung ke medan peran di era itu? Nama-nama pahlawan itu mungkin didominasi oleh kaum laki-laki. Namun, rupanya kader Nasyiah pra kemerdekaan itu ikut turun langsung ke medan perang, khususnya di masa Agresi Militer Belanda I.
Mu’arif menyebut setidaknya ada lima peran kader Nasyiah. Yang pertama, kader Nasyiah siap berjuang di garis belakang melalui urusan logistik perang atau dapur umum. Kader-kader yang sudah tangguh sejak dulu itu juga memberikan perawatan dan pertolongan korban perang, serta menyediakan obat-obatan.
“Perang itu kondisi yang kacau, jangan dibayangkan mereka duduk diam menunggu korban ke belakang mencari obat. Jadi, perempuan-perempuan Nasyiah ini juga maju ke depan mencari korban, tidak menunggu korban di belakang,” tutur Mu’arif.
Kader-kader Nasyiah itu juga mengurusi anak-anak dari keluarga para syuhada lewat gerakan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Selain memberikan pelayanan secara fisik, mental masyarakat juga dibina oleh kader Nasyiah melalui penyuluhan agama dan pembinaan keluarga di tengah perang yang berkecamuk.
Menjadi korban kekerasan bukan hal yang mustahil bagi perempuan di tengah kacau-balaunya kondisi peperangan, sehingga kader Nasyiah mengupayakan menjaga kehormatan dan harga diri, baik kehormatan keluarga, agama, dan bangsa.
Salah satu pengalaman yang dikutip Mu’arif ialah pengalaman Bu Um, kader Nasyiah yang berjuang dalam peristiwa Agresi Militer Belanda I. Menjalankan tugas sesuai jobdesk bukan perkara mudah di masa itu, sebab perang mengharuskan seseorang fleksibel dan dinamis sesuai situasi dan kondisi.
“Maka, Bu Um dan kader Nasyiah lainnya saat itu pun belajar memegang senjata, sekurang-kurangnya menghindar dan bertahan hidup. Tidak mungkin berdiam diri menunggu dan mengandalkan pasukan laki-laki,” sambung Mu’arif.
Tema Milad 95 tahun Nasyiah “Perempuan Tangguh Mencerahkan Indonesia” adalah upaya reflektif kembali ke masa lampau, mengingat kembali perjuangan perempuan-perempuan yang dituntut tangguh menghadapi kondisi zaman yang berat dan penuh perjuangan itu.
Tak hanya berjuang di medan perang secara fisik, Mu’arif juga mengajak kader Nasyiah untuk menengok Siti Hayinah, tokoh yang sangat getol berjuang melalui pena. Siti Hayinah dikenal sebagai sosok yang menggawangi terbitnya Majalah Isteri bersama beberapa nama lain. Siti Hayinah sudah cukup memiliki pengalaman mengelola majalah, sebab tiga tahun sebelumnya majalah Suara Aisyiyah sudah lebih dulu terbit, salah satunya berkat tangan ajaib Siti Hayinah. (rilisL isna/editor: doni osmon)