Sekolah Bukan Pabrik Ijazah: Saatnya Sekolah Cetak Jiwa Wirausaha
Penulis: Ebti Prihatni, mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pedagogi Universitas Muhammadiyah Malang.
DI TENGAH persaingan hidup yang semakin ketat dan dunia kerja yang semakin selektif, memiliki ijazah saja tak lagi cukup untuk menjamin masa depan cerah. Lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), baik SMA, SMK, maupun MA, membutuhkan bekal yang lebih dari sekadar nilai akademik. Mereka butuh karakter kuat, semangat mandiri, dan daya juang tinggi bisa dirangkai dalam satu kata: wirausaha. Jiwa wirausaha bukan sekadar kemampuan untuk membuka usaha, tetapi merupakan gabungan dari keberanian, kreativitas, ketahanan, dan kepekaan terhadap peluang.
Anak-anak muda harus dibekali bukan hanya dengan ilmu, tetapi juga kemampuan untuk bertahan hidup, apa pun jalan yang mereka tempuh setelah menanggalkan seragam sekolah. Tidak semua siswa SLTA memiliki kesempatan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Banyak di antara mereka yang karena keterbatasan ekonomi, keterbatasan akses, atau pilihan hidup, memilih untuk langsung terjun ke dunia kerja. Namun, realitas dunia kerja sering kali jauh dari harapan. Lapangan kerja tidak berkembang secepat pertambahan jumlah lulusan. Sementara itu, kualifikasi yang diminta dunia industri seringkali tidak sesuai dengan kemampuan lulusan baru. Akibatnya, pengangguran muda menjadi salah satu potret buram dunia pendidikan kita.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,47 juta orang dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,91%. Dari jumlah tersebut, kelompok usia muda (15–24 tahun) mendominasi angka pengangguran. Ini menunjukkan bahwa lulusan baru, termasuk dari jenjang SLTA, masih belum siap menghadapi realitas dunia kerja. Fakta ini menjadi alarm bagi dunia pendidikan untuk berbenah dan mengevaluasi pendekatan pembelajarannya.
Di sinilah pentingnya pembekalan jiwa wirausaha sejak di bangku sekolah. Anak muda yang memiliki semangat wirausaha tidak akan terlalu bergantung pada ketersediaan lapangan kerja formal. Mereka akan lebih gesit melihat peluang, bahkan dari hal-hal kecil yang sering luput dari pandangan orang lain. Mereka bisa memulai dari yang sederhana: menjual makanan ringan, membuat kerajinan tangan, membuka jasa desain digital, atau menjadi reseller produk UMKM lokal. Ini semua bisa dilakukan sambil tetap meniti pendidikan atau sambil menunggu pekerjaan yang lebih mapan. Apalagi, saat ini kita hidup di era digital yang membuka peluang wirausaha semakin luas.
Dengan bermodalkan ponsel dan koneksi internet, siswa SLTA bisa memasarkan produk mereka secara online melalui media sosial seperti Instagram, TikTok, atau WhatsApp Business. Platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, hingga marketplace lokal juga menjadi lahan subur bagi anak muda untuk berjualan. Konten kreatif berupa foto, video, atau testimoni digital dapat menjadi strategi pemasaran yang efektif dan murah. Pembekalan wirausaha kini tak bisa lepas dari pemanfaatan teknologi digital karena di sinilah pasar masa kini berada. Oleh sebab itu, pembelajaran kewirausahaan di sekolah pun harus mengikuti perkembangan zaman: tidak cukup hanya membuat produk, tapi juga harus diajarkan cara memasarkan secara digital.
Jiwa wirausaha membuat anak muda lebih tangguh. Mereka tidak mudah menyerah ketika gagal, karena mereka terbiasa mencoba dan belajar dari kesalahan. Mereka tidak hanya berpikir soal mencari uang, tapi juga membangun nilai, relasi, dan pengalaman. Bahkan jika mereka akhirnya bekerja di perusahaan atau lembaga, jiwa wirausaha tetap menjadi nilai lebih karena mereka akan bekerja dengan inisiatif tinggi, berpikir solutif, dan tidak hanya menunggu instruksi. Sayangnya, sistem pendidikan kita selama ini masih terlalu fokus pada pencapaian akademik. Sekolah seolah menjadi pabrik ijazah, tempat di mana siswa dikejar nilai demi nilai, tanpa cukup waktu untuk belajar tentang kehidupan nyata. Pendidikan kewirausahaan, jika pun ada, kadang hanya menjadi pelengkap atau bahkan sekadar formalitas. Padahal, jika digarap dengan serius, pelajaran kewirausahaan bisa menjadi ruang latihan yang sangat berguna untuk membentuk karakter siswa: dari perencanaan usaha, pengelolaan keuangan, produksi barang, hingga strategi pemasaran.
Sudah saatnya pendidikan kewirausahaan bukan hanya diajarkan sebagai mata pelajaran di SMK atau kegiatan ekstrakurikuler semata. SLTA, baik yang berbasis akademik maupun vokasi, perlu memfasilitasi ruang tumbuhnya semangat wirausaha secara sistemik. Salah satu langkah konkret adalah dengan memberikan proyek-proyek kewirausahaan berbasis masalah nyata (problem-based project), mendatangkan pelaku usaha muda sebagai inspirator, dan membuka akses kerja sama dengan UMKM lokal sebagai tempat praktik.
Membekali jiwa wirausaha bagi anak SLTA bukan semata agar mereka semua menjadi pengusaha sukses dengan omzet miliaran. Itu memang harapan jangka panjang, tetapi bukan satu-satunya tujuan. Yang jauh lebih penting adalah membentuk pribadi yang memiliki pilihan, daya tahan, dan kesiapan untuk mandiri dalam menghadapi kerasnya kehidupan pasca sekolah. Dalam realitas hari ini, tidak semua lulusan bisa melanjutkan kuliah atau langsung mendapatkan pekerjaan impian. Tapi semua anak bisa dipersiapkan untuk bertahan hidup asal diberi bekal yang tepat. Jiwa wirausaha adalah bekal hidup yang lentur. Ia tidak hanya berlaku di dunia usaha, tapi juga dibutuhkan di dunia kerja profesional, dunia pendidikan tinggi, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Ia membentuk keberanian mengambil inisiatif, ketangguhan menghadapi kegagalan, dan kebiasaan berpikir kreatif dalam melihat peluang.
Anak yang berjiwa wirausaha tak hanya mencari jalan, tapi menciptakan jalan. Inilah yang seharusnya menjadi tujuan utama pendidikan saat ini. Jika kita ingin menekan angka pengangguran muda yang terus bertambah, maka pembelajaran kewirausahaan bukan sekadar tambahan, melainkan kebutuhan mendesak. Dunia berubah terlalu cepat, dan tantangan ke depan tidak akan makin mudah. Maka menyiapkan generasi yang tahan banting dan mandiri harus dimulai sejak dini, dari ruang kelas.
Sekolah tak boleh lagi dipandang sebagai pabrik ijazah. Ijazah tanpa keterampilan hidup dan karakter kuat hanya akan menjadi selembar kertas yang tak berarti di luar sana. Karena pada akhirnya, dunia ini tidak hanya dihuni oleh orang-orang berijazah tinggi, tetapi oleh mereka yang punya mental kuat, pikiran kreatif, dan keberanian untuk mengambil langkah pertama. Sekolah sejatinya adalah ladang tempat menanam nilai, membentuk karakter, dan menyuburkan semangat mandiri. Dari ladang itulah akan tumbuh generasi yang tidak hanya mampu bertahan, tapi juga tumbuh dan memberi kontribusi. Dan semoga kita semua, para pendidik, orang tua, dan pengambil kebijakan, tidak lupa akan misi besar ini: mendidik anak-anak bukan hanya untuk lulus, tapi untuk hidup. (*)
Ebti Prihatni adalah mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pedagogi Universitas Muhammadiyah Malang dan aktif sebagai pengajar di SMA Muhammadiyah 2 Sumberpucung