Diplomasi Intermestik: Jalan Tengah atau Jalan Buntu Politik Luar Negeri?
Penulis: Jingga Kesumayanti, mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang
DALAM dinamika hubungan internasional kontemporer, batas antara isu domestik dan internasional semakin kabur. Kebijakan luar negeri tidak hanya ditentukan oleh aktor negara dan pertimbangan geopolitik semata, tetapi juga oleh tekanan publik, media sosial, dan dinamika politik dalam negeri. Konsep diplomasi intermestik muncul sebagai respons atas realitas ini—sebuah bentuk diplomasi yang berada di persimpangan antara kepentingan internal dan tekanan global. Integrasi dua ruang istilah ”Intermestik”, gabungan dari kata Internasional dan Domestik, menggambarkan proses diplomasi yang memperhitungkan keduanya secara bersamaan. Diplomasi tidak lagi berjalan secara linier dari pemerintah pusat ke luar negeri, tetapi juga melibatkan aktor non-negara seperti masyarakat sipil, media, sektor bisnis, dan bahkan kelompok kepentingan.
Beberapa kasus menjadi Ilustrasi dimana pemerintah Indonesia berpegang teguh pada prinsip kedaulatan, namun di sisi lain, tekanan internasional terhadap isu hak asasi manusia tidak dapat diabaikan. Diplomasi dalam isu ini tidak bisa dilepaskan dari sentivitas nasional, namun juga tak bisa luput dari sotoran global. Peluang sinergi jika dikelola dengan baik, diplomasi intermestik sebenarnya membuka ruang bagi diplomasi yang lebih demokratis. Keterlibatan masyarakat dalam urusan luar negeri membuat diplomasi tidak lagi bersifat elitis, melainkan partisipatif.
Pemerintah dapat merumuskan kebijakan luar negeri yang lebih represenatif dan berbasis aspirasi rakyat. Dalam konteks Indonesia, pendekatan intermestik terlihat dalam respons terhadap krisis Palestina. Dukungan masyarakat yang kuat mendorong pemerintah untuk mengambil posisi tegas dalam forum Internasional, sekaligus memperkuat legitimasi kebijakan luar negeri di dalam negeri.
Selain isu-isu seperti perubahan iklim, perdagangan internasional, dan migrasi juga menuntut pendekatan diplomasi yang mempertimbangkan kepentingan nasional sekaligus kepentingan global. Mengenai hal tersebut, diplomasi intermestik menjadi jalan tengah yang memungkinkan negara tampil aktif di level global tanpa mengabaikan kepentingan domestik.
Namun, diplomasi intermestik juga menyimpan potensi masalah. Ketika kebijakan luar negeri terlalu dipengaruhi oleh tekanan politik luar negeri, hasilnya bisa kontraproduktif. Kebijakan bisa menjadi reaktif, populis, atau bahkan inkonsisten. Di kasus konflik perdagangan, misalnya, tekanan dari kelompok industri di dalam negeri dapat mendorong sikap proteksionis yang bertentangan dengan komitmen perdagangan internasional.
Akibatnya, posisi tawar Indonesia dalam forum multilateral bisa melemah dan kredibilitas diplomasi jangka panjang menjadi taruhan. Hal yang sama terjadi ketika tekanan domestik membuat negara bersikap keras kepala dalam forum internasional tanpa membuka ruang kompromi. Di titik inilah diplomasi intermestik bisa berubah menjadi jalan buntu—menghambat dialog, memicu isolasi, dan merusak hubungan bilateral atau multilateral yang telah dibangun.
Menuju keseimbangan baru maka, kunci dari keberhasilan diplomasi intermestik terletak pada kemampuan pemerintah untuk menjaga keseimbangan. Diplomasi harus tetap berbasis prinsip dan nilai, bukan semata mata tekanan politik sesaat. Dibutuhkan transparansi dalam proses perumusan kebijakan luar negeri, serta ruang dialog antara negara dan masyarakat.
Pemerintah juga perlu membangun kapasitas diplomasi publik, agar masyarakat memahami kompleksitas isu global dan tidak terjebak pada narasi sempit atau emosional. Dengan begitu, diplomasi intermestik bisa menjadi strategi jangka panjang yang memperkuat posisi Indonesia di panggung internasional, tanpa mengorbankan kepentingan nasional.
Diplomasi intermestik adalah cerminan dari perubahan lanskap global dan domestik yang saling terkait. Ia bisa menjadi jalan tengah yang bijak, namun juga berpotensi menjadi jalan buntu jika tidak dikelola dengan cermat. Di tengah tantangan global yang terus berkembang, pendekatan ini bukan sekadar opsi melainkan kebutuhan. Pertanyaannya kini: Apakah kita cukup siap untuk mengelola kompleksitas itu? (jingga kesumayanti, mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang/kesumayantiij@gmail.com)