Dampak Kenaikan Tarif Trump Terhadap Ekonomi Indonesia
Penulis: Cahaya Endah Puspita, mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang
DALAM era globalisasi ekonomi yang semakin kompleks, kebijakan perdagangan internasional memainkan peranan penting dalam menentukan arah pertumbuhan ekonomi suatu negara. Indonesia, sebagai negara berkembang dengan potensi ekspor-impor, secara berkala menyesuaikan tarif bea masuk dan keluar untuk merespons dinamika ekonomi global dan domestik. Salah satu kebijakan adalah kenaikan tarif khusus yang dikenakan Amerika Serikat kepada Indonesia sebesar 32 persen.
Tarif ini jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain seperti Jepang, Uni Eropa, dan Korea Selatan, menunjukkan bahwa Indonesia dianggap memiliki kebijakan perdagangan yang lebih merugikan menurut AS. Tarif Trump yang tinggi terhadap Indonesia bisa mengganggu stabilitas ekonomi dan mengancam industri padat karya, seperti tekstil, garmen, alas kaki, dan kelapa sawit, ikan, udang, karet, barang dari karet dan lain – lain. Industri-industri ini sangat bergantung pada ekspor ke AS, sehingga kebijakan tarif tersebut dapat menyebabkan penurunan pendapatan dan berisiko mengurangi lapangan kerja.
Dengan adanya tarif tersebut menimbulkan dampak bagi ekonomi nasional sehingga bisa terguncang, terutama bagi sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian. Jadi pemerintah perlu segera mencari solusi untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS dan melindungi industri-industri ini dari dampak negatif kebijakan tersebut. Dengan mengetahui dampak untuk berbagai industri dan ekonomi negara, pemerintah harus segera mencari strategi untuk mengatasi adanya kenaikan tarif tersebut.
Lalu dengan adanya penundaan tarif selama 90 hari ini memberikan Indonesia kesempatan emas untuk meredakan ketegangan perdagangan dengan AS. Penundaan kenaikan tarif impor oleh Amerika Serikat, termasuk produk-produk yang terkait dengan rantai pasok global, memberikan kelegaan sementara bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Namun, dengan penundaan tersebut masih menunjukkan bahwa ketidakpastian dalam perdagangan global masih di ambang, karena belum ada putusan yang lebih lanjut mengenai tarif tersebut.
Dengan memanfaatkan jeda ini, pemerintah Indonesia dapat menunjukkan negoisasi baik melalui langkah-langkah seperti pelonggaran kuota impor dan pengurangan tarif untuk produk AS. Ini bukan hanya tentang menghindari tarif tinggi, tetapi juga tentang memperkuat hubungan dagang yang saling menguntungkan. Namun, langkah ini perlu diimbangi dengan strategi yang melindungi kepentingan.
Jeda ini adalah peluang, tetapi juga bisa menjadi tantangan untuk menyeimbangkan kepentingan nasional dan hubungan internasional. Lalu strategi selanjutnya yang dikutip menurut Ekonomi IPB University Hermanto Siregar mengatakan “pemerintah perlu menerapkan kebijakan jangka pendek dan jangka menengah-panjang untuk merespons kebijakan tarif Trump. Salah satu kebijakan jangka pendek ini bisa dilakukan dengan diversifikasi ekspor”.
Diversifikasi ini berarti Indonesia perlu memperluas pasar ekspor ke negara-negara lain yang memiliki potensi besar, sehingga tidak terlalu bergantung pada pasar Amerika Serikat. Langkah ini tidak hanya menjadi solusi jangka pendek untuk mengurangi dampak tarif tinggi, tetapi juga menjadi bagian dari reformasi ekonomi yang lebih luas untuk memperkuat daya saing Indonesia di pasar global.
Dengan adanya diservikasi menjadi langkah untuk menyelamatkan industri perekonomian Indonesia yang di ujung tanduk adanya kenaikan tarif tersebut. Dengan melakukan divervikasi dengan berbagai pasar potensial, yang mencakup negara-negara di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang mungkin memiliki kebutuhan terhadap produk-produk unggulan Indonesia seperti hasil pertanian, tekstil, atau produk manufaktur. Dengan menjalin hubungan dagang yang lebih erat dengan negara-negara ini, Indonesia dapat menciptakan peluang baru sekaligus mengurangi risiko yang muncul dari ketergantungan pada satu pasar utama. (*)