Bullying di Sekolah Dasar: Kekerasan yang Merongrong Masa Depan Anak
oleh: Ahmad Ipmawan Kharisma, Mahasiswa S3 Pendidikan Dasar Universitas Negeri Surabaya
KASUS bullying di kalangan siswa terutama di Sekolah Dasar (SD) kembali menjadi sorotan. Perilaku kekerasan fisik dan verbal yang terjadi di lingkungan sekolah sangat mengkhawatirkan dan berdampak buruk pada perkembangan anak. Jika dilihat dalam tingkat prevalensi tindakan bullyingpersentase siswa yang mengalami bullying cukup tinggi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Menurut Achmad Muchaddam Fahham (Analisis Legislatif Madya) korban kekerasan fisik dan/atau psikis 236 kasus, korban bullying 87 kasus, korban pemenuhan fasilitas pendidikan 27 kasus, korban kebijakan 24 kasus.
Sementara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (Kementerian PPPA) menyebutkan bahwa pada tahun 2023, telah terjadi 2.325 kasus kekerasan fisik terhadap anak. Meskipun angka pastinya bisa berbeda-beda, banyak penelitian menunjukkan bahwa bullying merupakan masalah yang cukup umum di lingkungan sekolah. Alasan mengapa angka pasti tindakan bullying berbeda-beda bisa disebabkan beberapa faktor antara lain, definisi bullying yang berbeda: setiap penelitian atau lembaga mungkin memiliki definisi bullying yang sedikit berbeda, sehingga sulit untuk membandingkan data secara langsung. Underreporting:
Banyak korban bullying enggan melaporkan kejadian yang mereka alami karena takut akan perundungan berulang atau takut dianggap lemah. Jenis bullying: tindakan ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari fisik hingga cyberbullying.
Setiap bentuk tindakan bullying memiliki karakteristik dan tingkat pelaporan yang berbeda. Selanjutnya jika dilihat dari bentuk tindakan bullying dapat dikatakan tindakan bullying tidak hanya terbatas pada kekerasan fisik (menendang, memukul, mendorong, merusak barang milik korban), tetapi juga mencakup bullying verbal (mengejek, mengancam, menyebarkan gosip, memberi julukan yang menyakitkan), sosial (mengucilkan, menyebarkan rumor, merusak reputasi korban), dan cyber (mengirim pesan ancaman, menyebarkan foto atau video yang memalukan melalui media sosial). Bullying verbal seperti ejekan, ancaman, dan gosip seringkali menjadi bentuk bullying yang paling umum. Bentuk tindakan bullying seperti ini sudah terjadi pada berbagai jenjang usia, termasuk pada usia sekolah dasar.
Korban bullying sering mengalami dampak psikologis yang serius, seperti depresi, kecemasan, rendah diri, hingga pikiran untuk bunuh diri. Selain itu, juga dapat berdampak pada prestasi akademik korban. Pernyataan bahwa korban bullying sering mengalami dampak psikologis yang serius memang benar adanya.
Namun, dampak tersebut jauh lebih kompleks dan luas daripada sekedar depresi, kecemasan, dan rendah diri. Adapun beberapa dampak yang mungkin dialami oleh korban adalah gangguan kesehatan mental: selain depresi dan kecemasan, korban bullying juga berisiko mengalami gangguan stres pasca-trauma (PTSD), gangguan makan, dan gangguan tidur. Dampak kedua masalah dalam bersosialisasi: korban bullying seringkali kesulitan dalam membangun dan mempertahankan hubungan sosial.
Mereka cenderung merasa terisolasi, tidak percaya pada orang lain, dan menghindari interaksi sosial. Dampak ketiga adalah perubahan perilaku: korban bullying mungkin menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan, seperti menjadi lebih agresif, menarik diri, atau menunjukkan perilaku merusak diri sendiri. Adapun dampak selanjutnya penurunan prestasi akademik: fokus yang terpecah akibat bullying, ketakutan untuk pergi ke sekolah, dan penurunan motivasi belajar dapat menyebabkan penurunan prestasi akademik yang signifikan.
Dampak kelima masalah kesehatan fisik: korban bullying juga dapat mengalami masalah kesehatan fisik, seperti sakit kepala, sakit perut, dan gangguan pencernaan yang seringkali tidak memiliki penyebab medis yang jelas. Dampak terakhir adalah dampak jangka panjang: dampak bullying tidak hanya dirasakan dalam jangka pendek, tetapi juga dapat berdampak jangka panjang pada kualitas hidup korban.
Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan interpersonal, membangun karier, dan mencapai potensi penuh mereka. Pelaku bullying seringkali memiliki karakteristik tertentu, seperti impulsif, agresif, dan kurang empati. Namun, faktor lingkungan juga berperan penting dalam memicu perilaku bullying. Beberapa faktor risiko yang terkait dengan bullying antara lain: iklim sekolah yang tidak mendukung, kurangnya pengawasan dari guru, dan pengaruh teman sebaya.
Dalam mencegah dan menangani kekerasan pada anak di lingkungan satuan pendidikan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek) telah memberlakukan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Permendikbud PPKSP tersebut dimaksudkan untuk memperkuat tindak pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan dengan memperluas lingkup sasaran ke peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga satuan pendidikan.
Kebijakan tersebut dikeluarkan untuk memastikan bahwa warga satuan pendidikan aman dari berbagai jenis kekerasan. Jika Permendikbudristek tersebut dikaji, setidaknya ada tiga ranah pencegahan dan penanganan yang perlu dilakukan, yakni pada ranah tata kelola, edukasi, dan sarana-prasarana. Pada tiga ranah tersebut, ada peran satuan pendidikan dan peran pemerintah daerah. Adapun untuk mengatasi masalah bullying di sekolah, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, pihak pertama yakni sekolah dengan membuat kebijakan anti-bullying yang tegas, mengadakan program edukasi tentang bullying, serta membentuk tim penanganan kasus bullying.
Pihak selanjutnya orang tua dengan memberikan perhatian penuh pada anak, mengajarkan nilai-nilai positif, serta bekerja sama dengan pihak sekolah. Pihak selanjutnya yakni guru dengan melakukan pengawasan yang ketat di lingkungan sekolah, memberikan konseling kepada korban dan pelaku bullying, serta melibatkan siswa dalam kegiatan yang positif. Pihak yang terakhir yakni pemerintah dengan membuat regulasi yang lebih kuat tentang perlindungan anak dari kekerasan, serta mengalokasikan anggaran untuk program pencegahan bullying. (*)