Dosen HI UMM Bahas Saemaul Undong-Peran Imigran Dalam Bangkitkan Pedesaan Korea Selatan
TABLOIDMATAHATI.COM, MALANG– Pengembangan pedesaan yang inklusif melalui gerakan Saemaul Undong dan peran komunitas multikultural menjadi fokus utama dalam kelas yang disampaikan oleh Shannaz Mutiara Deniar, MA, bertajuk Saemaul Undong and Multicultural Communities: Building Inclusive Rural Development in South Korea. Kelas ini merupakan hasil kerjasama Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang dengan University of Auckland’s Strategic Research Institute (SRI) for Korean Studies yang turut didukung oleh Kementerian Pendidikan Republik Korea.
Dalam pemaparannya, Shannaz menjelaskan bahwa Saemaul Undong merupakan gerakan yang diperkenalkan oleh Presiden Park Chung-hee pada awal 1970-an untuk menanggulangi kesenjangan antara kota dan desa di Korea Selatan. Gerakan ini dilandasi oleh tiga nilai utama, yaitu kerja keras, swadaya, dan kerjasama.
Ditegaskan Shannaz bahwa gerakan ini berfokus pada pembangunan infrastruktur pedesaan, termasuk sanitasi, irigasi, akses air bersih, serta revitalisasi sektor pertanian yang sempat terpuruk akibat korupsi dan ketergantungan pada bantuan asing.
Pada masa kepemimpinan Park Chung-hee, lanjut Shannaz, Korea Selatan mengalami modernisasi besar-besaran, meski diiringi dengan berbagai tantangan, seperti ketimpangan ekonomi dan urbanisasi yang pesat. Banyak penduduk desa pindah ke kota untuk mencari pekerjaan, sehingga desa-desa mulai kehilangan populasinya. Untuk mengatasi hal ini, Saemaul Undong juga melibatkan perempuan sebagai pemimpin komunitas, yang dikenal sebagai Saemaul leaders, dalam upaya menggerakkan masyarakat untuk terlibat aktif dalam pembangunan desa.
Shannaz juga menyoroti peran imigran dalam membantu mengisi desa-desa yang ditinggalkan oleh penduduk lokal. Korea Selatan awalnya hanya dihuni oleh satu kelompok etnis utama, yaitu Suku Han. Namun, dengan meningkatnya imigrasi dan naturalisasi, populasi etnis Han di Korea mulai berkurang, memberi ruang bagi komunitas multikultural yang semakin berkembang.
Kehadiran imigran ini memberikan kontribusi signifikan dalam pembangunan pedesaan dan mengatasi kekosongan tenaga kerja. Selain di Korea Selatan, gerakan Saemaul Undong telah mendapatkan pengakuan internasional, dan beberapa negara lain mulai mengadopsi model ini.
Korea Selatan bahkan telah memperkenalkan Saemaul Undong kepada UNESCO, dan gerakan ini telah diakui sebagai salah satu strategi pembangunan pedesaan yang berkelanjutan di berbagai negara.
Shannaz juga membahas tantangan yang masih dihadapi gerakan Saemaul Undong di masa depan, termasuk mengatasi hambatan sosial, dukungan kebijakan yang konsisten, serta pentingnya mempromosikan pemahaman antarbudaya di tengah masyarakat multikultural yang semakin berkembang.
“Dengan dukungan kebijakan yang kuat dan pemahaman lintas budaya yang lebih baik, Saemaul Undong dapat terus menjadi inspirasi untuk pembangunan pedesaan inklusif di seluruh dunia. (penulis: hillbra naufal demelzha gunawan/*)