Spirit Pembangunan dan Masyarakat Adat
Oleh: Daud Nolowala, Alumni Universitas Muhammadiyah Kupang, Mahasiswa Pascaserjana Universitas Brawijaya Malang
Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan yang di lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan pendapatan perkapita suatu Negara. Seperti halnya Indonesia yang tertera dalam UUD 1945 yang menjadi pedoman dasar dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di indonseia selama masa orde baru, pembangunan yang di lakukan di seluruh Wilayah Kesatuan Republik Indonesia mulai dari tingkat Pusat sampai ke tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa di jalankan dengan sistem perencanaan di mana semua program pembangunan di tentukan oleh Pemerintah Pusat.
Setelah di keluarkannya UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah di ubah terakhir dengan UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 17 Tahun 2007 Pasa 1 ayat 4 Tentang Perencanaan Pembangunan, menghendaki agar penyelenggarahan pemerintahan dan Pembangunan Daerah di dasarakan pada prinsip Demokrasi dan memperhatikan kekhasan suautu Daerah dalam sisitem Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia.
Perencanaan Pembangunan merupakan inti dari perumusan kebijakan karena di dalam perencanaan Pembangunan di rumuskan batas-batas kebijakan dan orentasi itu sendiri. Perumusan kabijakan sanantiasa bertajukan untuk mengintervensi kehidupan public. Oleh karena itu, dalam proses perencanaan pembangunan selalu mengandung prinsip musyawarah dan mufakat dan selalu memperhatikan nilai budaya dan adat isti adat daerah setempat.
Penempatan masyarakat adat sebagai subjek pembangunan mutlak di perlukan sehingga dalam proses pembangunan tidak terjadi konflik, baik itu konflik horizontal maupun konflik fertikal yang berakibat pada hilangnya nyawa dan mata pencaharian serta harta benda, yang selanjutnya dapat merusak jalinan social dan ekonomi masyarakat yang terlibat baik secara langsung atau tidak langsung. Hal ini berlaku dan penting untuk menyelesaiakan konflik di Daerah maupun secara Nasional.
Di Indonesia terjadi banyak terjadi konflik antara masyarakat adat dalam proses pembangunan itu sendiri. Persoalan yang mendasar yang sering di katakana ialah Tanah dan Sumber Daya Alam yang di sebut-sebut sebagai leading sector munculnya konflik hingga pada persoalan etnis dan suku. Seperti halnya kasusus sengketa Tanah di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal yang sama juga terjadi di Maluku, di mana masalah tanah serta upaya-upaya militer untuk memperoleh control terhadap sumber daya di tingkat local sering di sebut sebagai sumber utama konflik, sedangkan di Papua sebagai akibat dari Penguasaan dan Negara terhadap sumber daya di Provinsi yang kaya ini dilaporkan telah menjadi penyebab penting ketegangan-ketegangan yang terjadi di sana (ICG, 2000).
Narasi yang sama kita jumpai dalam perjuangan orang-orang Lembata dalam melawan ekspansi Investasi Tambang di wilayah Kedang yaitu di Kecamatan Omesuri dan Buyasuri. Dengan semangat perlawanan bahwa tanah merupakan warisan leluhur yang di wariskan untuk anak cucu. Di mana dengan semangat nilai-nilai budaya yang sering disebut masyarakat kedang dengan nama Ihin weren matan mean, au niwang, lewo nuhtun dan nubanara.
Masyarakat adat selalu dihadapkan dengan agenda-agenda Pembangunan yang datang dari luar aspirasinya, apakah itu dari pemerintah maupun kepentingan perusahaan. Tak jarang pula agenda pembangunan itu bersifat determinan, sehingga memaksa masyarkat adat melepaskan tanah leluhurnya. Mereka kemudian terusir, di tangkap, rumahnya dibakar, dan tak jarang pula harus mendekam di balik jeruji besi kerena mempertahankan kehidupan dan tradisi yang mereka warisi dari leluhur.
Hal ini menggambarkan UU Nomor 4 Tahun 1999 yang sebagain mempertahankan sisitem perjanjian dan sisitem terpusat dari UU terdahulu, memastikan bahwa hukum Desentralisasi yang di perkenalkan sebelumnya tidak akan mengganggu control secara terpusat. UU ini mengakui “Masyarakat Adat dan Hutan Adat”. Namun, seperti juga dengan UUPA, UU ini memberikan keleluasan kepada pemerintah untuk mengatur perolehan atas hak-hak tersebut. Ini mengungkapkan hubungan antar Negara-Masyarakat sangat berbeda dengan apa yang di atur Undang-undang Kehutanan Nasional. Belum lagi adanya UU OMNIBUSLAW yang baru-baru ini di sahkan di mana setiap kebijakan pembangunan di tentukan oleh Pemerintah Pusat maka kemungkinan besar kehidupan masyarakat adat yang sudah hidup berdampingi sejak dahulu kala pun bisa terancam dan kemungkinan bisa memicu konflik Fertikal bahkan konflik Horizontal.
Oleh karena itu sebagai Stock Holder selalu terbuka dan memberi ruang negosiasi kepada masyarakat adat setempat untuk berpatisipasi dalam setiap perencanaan pembangunan sehingga tidak terjadi konflik di kemudian hari. (*)