SALAH SIAPA (Perempuan Bermahar Gading)
oleh: EMILIA BERIBE/A, Perdana dipublikasikan oleh FP Dua Tanda Mata
Matahari pagi mulai menampakan sinarnya. Suasana desa kecil di atas bukit pelan-pelan mulai ramai dengan aktifitas pagi para penduduk desa.
“Igo, Igo!!! Bangun, matahari sudah terbit. Apakah kamu akan terus tidur begini sampai sore?” Barek memanggil suaminya yang masih betah di kasur.
“Igo ! Lihatlah orang-orang sudah bangun, bahkan ada yang sudah berangkat ke kebun. Jika kamu begini terus, kehidupan kita tidak akan berubah.”
Barek menggoncang-goncangkan tubuh suaminya, berusaha agar Igo segera bangun.
“Mengapa setiap pagi kamu selalu mengganggu tidurku? Saya bisa bangun sendiri.” Igo marah-marah karena tidurnya terganggu.
“Igo, dengarkan, saya tidak bermaksud mengganggumu tetapi kita harus ke kebun. Orang-orang sudah mulai membersihkan kebunnya untuk persiapan menanam sedangkan kita sama sekali belum.” Barek menjelaskan dengan lembut agar tidak menyinggung perasaan suaminya.
“Barek, soal kebun itu urusan saya, sebaiknya kamu ke dapur lalu buatkan saya secangkir kopi.” Igo bangun dan berjalan keluar kamar. Barek menuju ke dapur untuk menyiapkan kopi dan sarapan untuk suaminya. Ia berusaha untuk sabar menghadapi sikap malas suaminya. Barek lelah mengurus semuanya sendiri, sedangkan Igo suaminya hanya duduk di rumah, tak mau bekerja, berjudi dan mabuk-mabukan di kampung. Barek membawakan secangkir kopi untuk suaminya. Wajah Igo cemberut, ia mengambil kopinya dan meletakannya di atas meja.
“Belikan saya rokok.” Pintanya dengan nada kasar kepada Barek istrinya.
“Igo, saya sudah tidak mempunyai uang lagi, sisa uang kemarin sudah kau pakai tadi malam untuk berjudi.” Jawab Barek.
Wajah Igo berubah, ia menahan emosi.
“Barek, hanya sebatang rokok saja. Masa aku harus minum kopi tanpa rokok?” Kata Igo setengah memaksa. Barek tak menjawab ia masuk ke dalam kamar. Dibukanya lemari pakaian, tangannya meraba-raba di bawah pakaian. Ia mengambil uang lima ribu rupiah. Uang ini sebenarnya ia simpan untuk membeli gula pasir, karena gula pasir di dapur telah habis. Ia merasa kasihan kepada suaminya. Ia berpikir mungkin jika ia menuruti kemauan Igo maka Igo akan mau mengikuti apa yang dikatakannya.
Barek menuju ke kios untuk membeli rokok.
Igo sama sekali belum meneguk kopi yang dihidangkan. Pikirnya Barek tak mau membelikan rokok untuknya.
“Ini rokoknya.” Tiba-tiba Barek sudah ada di hadapannya, memberikannya rokok. Igo tersenyum mengambil rokok dari tangan Barek tanpa mengucapkan terima kasih.
“Setelah ini kita ke kebun. Saya akan menyiapkan makanan.” Ucap Barek lalu menuju ke dapur.
“Barek.!! Tunggu.” Barek kembali duduk di kursi.
“Ada apa Igo?” Tanya Barek.
“Dengarkan saya baik-baik, saya menikahimu dengan mahar gading dibayar lunas, jadi jangan mengatur-ngatur saya, kamu yang harus patuh kepada saya!” Igo berkata dengan nada tegas sambil menatap Barek dengan tatapan tajam.
Barek tertunduk diam. Bukan baru kali ini Igo mengucapkan kalimat itu. Hampir setiap hari jika Barek meminta tolong kepadanya atau menyuruhnya bekerja ia selalu mengatakan hal yang sama. Barek menahan rasa sakit di hatinya. Meskipun sudah terbiasa dengan ucapan suaminya tetap saja ia tak bisa menahan airmatanya.
“Jangan menangis, bertahun-tahun saya merantau mengumpulkan uang hanya untuk memenuhi tuntutan keluargamu. Sekarang lihat, kita tak punya apa-apa. Jika saja keluargamu tidak mendesak saya untuk segera membayar belis mungkin uangnya bisa kita gunakan dulu untuk memenuhi kebutuhan hidup kita.” Ucap Igo dengan nada penyesalan.
“Maafkan saya dan juga keluarga saya kerena telah menyusahkanmu.” Ucap Barek masih tetap tertunduk. Igo tak menjawab, ia diam saja. Sebelum menikah dengan Barek Igo tipe pria yang sangat rajin, ia juga tidak mudah marah. Setelah menikah dengan Barek, sikapnya berubah total. Ia nekad menikahi Barek karena ia sangat mencintai istrinya itu. Ia tahu diri, ia tak ingin menyusahkan Barek, sehingga ia memutuskan untuk pergi merantau selama 3 tahun, mengumpulkan uang untuk tabungan hidupnya bersama Barek. Ketika ia kembali ia pergi menemui keluarga Barek dan melamar Barek. Keluarga Barek setuju dan menerima lamarannya dengan tuntutan belis berupa gading yang harganya berkisar puluhan juta rupiah. Awalnya ia meminta keringanan karena jika ia membayar lunas ia tidak punya tabungan lagi, namun pihak keluarga Barek menolak. Awalnya ia merasa berat namun ia merasa malu karena ia sudah terlanjur melamar Barek, juga karena ia sangat mencintai Barek, sehingga akhirnya ia menyetujui tuntutan keluarga Barek. Tuntutan diterima, belis dibayar lunas, restu pihak keluarga Barek mengalir lancar dan pernikahan berjalan mulus.
**
Barek berusaha melupakan kalimat yang diucapkan suaminya. Ia tak tahu harus menyalahkan siapa atas semua yang dialaminya saat ini. Ia mencoba sabar dan ikhlas menjalani kehidupan rumahtangganya.
“Bersiaplah, kita berangkat sekarang.” Ucap Igo memecah keheningan.
Barek mengangguk lalu berdiri menyiapakan segala sesuatu yang akan dibawa ke kebun. Baru saja mereka hendak berangkat datanglah Petrus kakak laki-laki sulung dari Igo.
“Selamat pagi.” Ia mengucapkan salam lalu masuk ke dalam rumah. Barek membalas salamnya lalu mempersilahkan Ina duduk.
“Apakah kalian mau ke kebun?” Tanya Petrus.
“Iya, ada apa kamu kesini. Apakah ada hal penting?” Tanya Igo.
“Iya, ada yang ingin saya bicarakan dengan kalian. Jadi begini, minggu depan anak sulung dari saudara mama akan menikah, jadi saya mengundang kalian berdua untuk datang ke rumahku malam ini agar kita bisa berbicara soal tanggungan kita nanti. Kalian harus datang berdua, jangan hanya Igo atau Barek saja.” Tegas Petrus.
“Baiklah kakak, kami berdua akan datang.” Barek menjawab.
“Kalau begitu saya pamit.” Ucap Petrus.
Igo dan Barek mengangguk. Igo mengantar Petrus sampai di depan pintu.
“Bagaimana ini, saya tidak mempunyai uang sama sekali. Apa yang harus saya lakukan.” Barek berkata di dalam hatinya.
“Ada apa? Mengapa wajahmu begitu?”
Igo bertanya kepada Barek.
“Tidak apa-apa.” Jawab Barek berbohong.
“Jangan bohong, katakan. Ada apa?” Igo bertanya lagi.
“Saya hanya sedang berpikir, kita tidak mempunyai uang lagi. Pertemuan keluarga sebentar malam pasti membahas tentang uang untuk anggaran pesta.”
Jawab Barek lalu duduk di kursi. Hilang semangatnya untuk pergi ke kebun.
“Cari pinjaman. Jangan mempermalukan saya di depan keluarga saya.” Jawab Igo ketus.
“Igo, saya tidak bisa, saya malu meminjam uang.” Barek menolak saran suaminya.
“Tak bisakah kau meminta tolong keluargamu? Meminjam dari keluargamu? Barek, apapun terjadi kamu harus mencari pinjaman.” Igo memaksa.
“Igo, mengapa tidak kamu saja yang mencari pinjaman? Aku malu karena aku sudah sering meminjam. Kalau saja kamu tak bermain judi setiap malam, kita mungkin masih punya sedikit simpanan. Kamu tak pernah mendengarkanku Igo. Disaat kita butuh uang untuk hal penting uangnya sudah habis.”
Plakkkk!!!! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Barek. Barek terkejut, ia hampir terjatuh dari kursi. Kepalanya pusing seketika. Ia meringis menahan sakit sambil memegang pipinya. Airmatanya mengalir.
“Kau selalu saja mengungkit-ungkit semua yang telah berlalu. Persoalan uang selalu saja saya yang salah. Kau benar-benar membuat saya gila. Gara-gara kamu hidup saya jadi susah seperti ini. Saya turuti kemauan keluargamu giliran urusan keluarga saya kamu mulai perhitungan. Sudah saya katakan berulang kali, patuhi saya! Patuhi saya! Saya sudah membayar mahal untuk dirimu. Saya berkorban saya bersusah payah, tak bisakah kamu berkorban sedikit untuk keluargaku??” Suara Igo meninggi. Emosinya tak terkontrol lagi. Barek hanya menunduk dan menangis.
Igo keluar dari rumah dan pergi entah kemana, meninggalkan Barek yang sedang menahan sakit akibat tamparan dan sakit hati oleh semua kata-kata Igo. Barek putusasa, ia tak bisa tahan lagi menghadapi situasi rumah tangganya yang semakin rumit. Ia marah, entah marah kepada siapa. Ia masuk ke dalam kamar, menyimpan semua pakaian di dalam sebuah tas besar lalu bersiap dan pergi meninggalkan rumah juga suaminya Igo.
Ia menulis sepucuk surat dan meletakannya di atas meja. Tak lama setelah ia pergi Igo kembali ke rumah.
“Barek, Barek.!” Igo memanggil istrinya. Suasana rumah sepi. Igo mencarinya ke dapur, namun sia-sia. Ia lalu masuk ke kamar. Pikirnya barangkali Barek tertidur, ia ingin meminta maaf, namun ternyata istrinya tak ada juga di kamar. Ketika ia berbalik hendak keluar , ia melihat secarik kertas di atas meja. Buru-buru ia mengambilnya lalu membaca tulisan di atas kertas itu.
“Suamiku, maafkan saya perempuan bermahar gading, istri berharga tinggi. Terima kasih telah melunasi hutang balas jasaku kepada keluargaku. Terima kasih telah mengangkat derajat keluargaku dengan mahar gading yang kau berikan sehingga mereka dengan bangga bisa berkata kepada semua orang bahwa saya anak perempuan mereka adalah permpuan berharga, perempuan yang dihormati oleh keluarga suamiku, sehinga berapapun tuntutan mereka tetap terpenuhi. Terima kasih kepada mahar gading yang kauberikan sehingga saya menjadi anak permpuan terpandang di dalam keluarga saya, terhormat dan selalu dipuji oleh semua orang, lagi-lagi karena bermahar gading. Kenyataan sesungguhnya adalah bahwa bukan saya yang dibanggakan, bukan saya yang dihormati tetapi mahar gadinglah yang dibanggakan juga dihormati. Saya mohon pamit, saya pergi dan akan kembali membalas pengorbanan yang kau lakukan agar saya dan juga kamu tak lagi saling menyakiti, tak lagi saling menyalahkan. Selamat tinggal suamiku.
Aku, istrimu, perempuan bermahar gading.”
Igo jatuh terduduk memeluk surat dari istrinya. Ia menyesal entah apa yang disesalinya. Airmatanya mengalir, entah apa yang ditangisinya. Entah siapa yang harus disalahkan. Ia terdiam dalam permenungan panjang. (*)