Rendahnya Literasi Pada Pelajar Indonesia, Apakah Ada Solusinya?
Oleh : Muliani, Mahasiswa Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Malang
Kata “literasi” sendiri secara etimologis berasal dari bahasa latin “literatus” yang artinya orang yang belajar. Literasi, dalam arti luas, mengacu pada kemampuan seseorang menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dalam berbagai cara, termasuk “membaca, berbicara, mendengarkan, dan menulis”, tergantung pada tujuannya. Kemampuan menulis dan membaca merupakan definisi literasi yang paling sederhana. Jika dikaitkan dengan dunia pendidikan, literasi merupakan elemen pendukung yang krusial dalam mencapai tujuan pendidikan saat ini. Kebutuhan akan pendidikan di masa depan ditekankan oleh para pakar pendidikan yang menekankan pentingnya fokus pada kemampuan penalaran, yang meliputi pemikiran logis, yang terkait erat dengan literasi. Namun apakah pelajar Indonesia sudah mengadopsi budaya literasi ini?.
Menurut UNESCO, Indonesia merupakan negara dengan angka melek huruf terendah kedua di dunia, yang menandakan bahwa minat baca negara tersebut sangat rendah. Data dari UNESCO menunjukkan bahwa hanya 0,001% orang Indonesia yang tertarik membaca, hal ini yang sangat memprihatinkan. Artinya, hanya satu dari seribu orang Indonesia yang rakus membaca.
Dalam studi berbeda yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 berjudul “World’s Most Literate Nations Rating”, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca, masih tertinggal dari Thailand di urutan ke-59 dan unggul dari Botswana yang berada diurutan ke-61. Bahkan, peringkat Indonesia lebih tinggi dari negara-negara Eropa dalam hal penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca.
Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 70 negara, atau merupakan salah satu negara dari 10 negara terbawah yang memiliki tingkat melek huruf terendah, hal ini berdasarkan riset pada tahun 2019 yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) yang dicanangkan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). PISA adalah penilaian global terhadap sistem pendidikan di lebih dari 70 negara. Siswa berusia 15 tahun dari sekolah yang dipilih secara acak akan mengikuti ujian membaca, matematika, dan sains setiap tiga tahun.
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa masalah literasi di Indonesia masih perlu untuk dibenahi secara serius. Padahal literasi memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hanya bangsa dengan minat literasi yang tinggi yang merupakan prasyarat untuk menuju masyarakat modern. Menurut sebuah peribahasa, buku adalah jendela dunia. Artinya, membaca buku membantu kita untuk membuka jendela dunia dan memahaminya. Pikiran, imajinasi, dan jiwa kita yang ingin tahu menerima berbagai jenis informasi dari dunia luar.
Pemerintah masih terus berupaya untuk meningkatkan tingkat literasi di kalangan pelajar Indonesia. Inisiatif tersebut, misalnya, dibahas dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2015 bagian tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Khususnya bagi siswa SD, SMP, dan SMA, wajib meluangkan waktu 15 menit untuk membaca buku selain buku pelajaran. Untuk mewujudkan harapan tersebut, maka diterapkanlah Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Gerakan Literasi Sekolah (GLS) digagas oleh oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah atas rendahnya prestasi pelajar Indonesia yang buruk dalam matematika, sains, dan membaca.
Kemudian, pada tahun 2018, pemerintah juga meluncurkan program Gerakan Literasi Nasional (GLN) dan upaya peningkatan literasi masyarakat Indonesia dilanjutkan oleh Badan Bahasa dan Kemendikbudristek. Pendidikan yang layak wajib dimiliki setiap warga negara, demikian menurut Imam Budi Utomo, Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra. Kewajiban ini tertuang di dalam UUD 1945. Program Gerakan Literasi Nasional yang salah satu praktiknya adalah melakukan pengiriman buku jenjang PAUD dan SD ke daerah 3T (daerah terdepan, terluar, tertinggal) merupakan salah satu upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang didukung oleh pemerintah.
Selain itu, pemerintah melakukan pemantauan dan evaluasi untuk menjamin buku cetak berkualitas tinggi dan pengiriman tepat sasaran. Perlunya peningkatan literasi karena adanya tanda learning loss yang serius di kalangan siswa di samping tingginya angka putus sekolah. Bahkan menurut hasil Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa siswa yang mencapai ambang batas kemampuan literasi membaca, yaitu kurang dari 50%.
Ketersediaan berbagai buku yang cocok untuk jenjang pembacanya, khususnya anak usia dini dan sekolah dasar, akan turut membantu menumbuhkan kecintaan membaca pada anak sejak usia dini. Selain itu, buku berkualitas tinggi akan mempromosikan membaca dan menulis baik di kelas maupun di masyarakat. Lima bentuk literasi dasar berikutnya (numerasi, sains, digital, finansial, serta budaya dan kewargaan) dapat dikembangkan dengan kemampuan membaca dan menulis yang kuat.
Pemerintah telah melakukan sejumlah upaya untuk menaikkan angka literasi di Indonesia. Pemaparan di atas mewakili sebagian kecil dari apa yang dicapai oleh pemerintah. Ketika akses literasi dipermudah untuk pelajar maka terserah mereka untuk memutuskan apakah mereka ingin mempelajari cara mengasah kemampuan kemampuan berliterasi mereka atau tidak. Tingkat literasi akan tetap rendah tidak peduli seberapa keras pemerintah bekerja untuk menaikkannya jika pelajar di Indonesia tidak mau belajar. Situasi literasi Indonesia akan berangsur-angsur membaik jika semua pihak baik pemerintah maupun para pelajar bekerja sama untuk meningkatkan angka literasi. Dengan berliterasi akan memberi kita segudang ilmu, informasi, inspirasi, pelajaran hidup, dan manfaat lainnya.
(*) artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas perkuliahan.