Prostitusi di Tengah Pandemi Pelakunya Menanggung Dosa Muhsan
Prostitusi di tengah pandemi dalam pandangan pakar sosiologi pasca sarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Dr. Wahyudi, M.Si, bahwa sebagai seorang muslim harus memahai kehidupan sosial berbangsa dan negara, bahkan dunia dalam keadaan pandemi tidak lepas dari ketentuan Allah. Maka sebagai muslim harus menyakini bahwa apa yang sdang terjadi ini tidak bathil karena sudah dikehendaki oleh Allah. Oleh sebab itu harus pandai mengambil hikmah. Itu sebabnya kalau gagal mengambil hikmah dari Allah tersebut, sebagai ujian, cobaan, untuk semakin dekat kepada Allah.
Jika terkait dengan bisnis prostitusi semakin banyak konsumennya, lanjut Wahyudi, ini pertanda buruk bagi orang-orang yang mendatangi (konsumen). Mestinya kebijakan pemerintah dengan adanya lockdown, maka sebenarnya semua orang harus membaca kauniyah (ayat kauniyah) sebagai tanda–tanda zaman harus menjadi muslim yang lebih baik sebelum covid. Siapa yang datang ke sana jika mereka adalah konsumen baik laki-laki maupun perempuan dan sudah berumah tangga, maka akan menanggung dosa muhsan dosa dua kali tingkat. Pertama dosa zina dan dosa mengkhianati keluarganya. Kedua mengabaikan ulil amri mingkum. Untuk membangun keluarga surga Baiti Jannati. Orang-orang yang terlibat dalam bisnis prostitusi mengabaikan ulil amri mingkum tentang kebijakan pemerintah berada di rumah menciptakan ruang dan waktu bersama keluarga.
Sebab selama ini dalam konsep sosiologi orang sudah tersandra pekerjaannya, seharusnya kesempatan ini digunakan waktunya untuk membangun baiti jannati. Jika hal ini tidak dilakukan, maka harus ada dakwah untuk menjadikan keluarga inti lebih kualitas maupun keluarga dalam lingkup yang lebih luas. “Mungkin ada kejenuhan di rumah, sehingga memanfaatkan waktu dengan tidak baik. Sekali lagi ini adalah ladang untuk dakwah untuk tindakan prefentif dan kuratif,” ujar Wahyudi.
Prefentif dan kuratif ini, tandas Wahyudi mencakup tiga hal. Yakni pemerintah melakukan penangkapan, pendekatan sistem keluarga, dan edukasi pendidikan agama. Jangan hanya orang yang tertangkap perzinahan dalam persprektif tertentu bukan tindakan individual subyektif, perzinaan itu merupakan makro sistem. “Mereka tidak menerapkan pengendalian sosial. Sehingga orang menganggap perzinahan bukan sesuatu yang dosa karena kurangnya edukasi agama,” akunya.
Menariknya Wahyudi menjelakan salah satu konsep nitze yang bertajuk The Dead of God yaitu konsep nihilisme. Dalam konsep ini tuhan telah mati. Maksudnya tuhan telah mati dalam sikap tindakan dan perilaku manusia. Ada dua bentuk nihilisme pasif dan aktif. Penelitian Nitze ini berada di Jerman dan Eropa waktu itu, dan sekarang terjadi di negara ini. Nihilisme pasif adalah pemahaman yang menanggap tuhan masih ada namun manusia tidak mengajarkan ajaran tuhan. Jika seorang muslim tetap beriman kepada Allah, namun tidak mematuhi larangan dan perintah Allah. Sementara nihilisme aktif seperti jika seorang muslim sudah tidak percaya pada Allah, sehingga sikap dan perbuatannya tidak berdasarkan agama. “Tidak menempatkan Islam sebagai tujuan hidup. Agama sudah ditinggalkan dan ditanggalkan baik pasif maupun aktif. Umumnya masyarakat Indonesia masih bersifat pasif,” pungkasnya. (don)