Prostitusi di Tengah Pandemi Bagaimana Modusnya?
TANGGAP darurat lockdown corona telah melumpuhkan banyak sektor vital di republik ini. Hampir semua bidang terkena imbasnya. Mulai ekonomi, politik, hingga sosial, termasuk dunia hitam prostitusi apakah juga mengalami pengaruh signifikan? Salah satu dosen Univesritas Muhammadiyah Malang (UMM), Dr. Umiarso, M.PdI, yang pernah melakukan penelitian tentang prostitusi bil khusus “ayam kampus” menjelaskan kajian prostitusi dari berbagai sumber perorangan maupun akademisi mempunyai definisi pertukaran antara sesuatu yang “dibutuhkan” maskulinitas dalam konteks ini adalah sexsualitas yang kemudian dipertukarkan dengan uang atau sesuatu yang bisa memuaskan diri perempauan.
Nah, tandas Umiarso, dalam konteks era sekarang yang lazimnya berada di perekonomian kapitalis ini, sexsualitas perempuan demikian dieksploitasi untuk dijadikan sebagai komoditi bagaimana nanti mengumpulkan kapital-kapital itu. Jika dikaitkan dengan kondisi pandemi covid19 maka akan semakin masif gerakannya. Bahkan beberapa waktu lalu Umiarso sempat berdiskusi dengan beberapa teman dikatakan bahwa gerakannya bukan menyusut namun semakin masif. Dikarenakan komuditas apapun yang dibutuhkan semakin banyak, apalagi di zaman covid19 ada bulan-bulan dimana bulan-bulan ini sangat membutuhkan banyak kapital. Maka gerakan- gerakan semakin masif bahkan tersruktur.

Cotohnya, ungkap Umiarso, dibantu oleh media sosial, ketika semakin canggih teknologinya maka semakin sulit terdeteksi. Masifnya gerakan ini, tentu diperlukan penanganan khusus yang dilakukan oleh orang-orang tertentu yang mahir di bidang media sosial. Penting juga diketahui bukan hanya prostitusi politik, prostitusi ekonomi, semua hal ini bisa dijadikan sarana untuk memuluskan pengumpulan kapital.
Umiarso mencontohkan, ketika dia meneliti dunia prostitusi hingga menjadi buku berjudul “Konsep Tuhan Perspektif Pelacur” ada salah satu pelaku yang di wawancara mengaku sebenarnya apa yang dilakukan semata-mata untuk “membalas dendam” terhadap sistem budaya yang cenderung patriatik dan sistem perekonomian kapital yang demikian melilit pelaku untuk dieksploitasi fakta sexsualitasnya. Misalnya, (mereka) pelaku dieksploitasi bentuk tubuhnya dipotret lalu “dikomersilkan” bahkan di sisi lain pelaku di iming-imingi segepok uang yang nantinya dijadikan upah untuk memuluskan kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Ini yang tadi dikategorikan sebagai prostitusi politik. Sisi lain, meskipun kepentingan politik pada akumulasinya tetap pada kapital itu ditumpuk menjadi kekayaan tertentu.
Maksud terstruktur? Umiarso mengatakan mereka para pelaku tidak hanya berdiri dan ada “induknya” namun lebih dari itu ada yang mengorganisir termasuk bagaimana market place nya, konsumen, serta pendistribusian “produk” hingga pada konsumen. Nah hal – hal ini yang dimaksud terstruktur. Terkait dengan ada pemodalnya, fokus penelitian Umiarso masih belum menyentuhnya sebab konsentrasi penelitian lebih pada nuansa diri pelaku bukan apsek orang lain. Contohnya di sepanjang jalan ada kode-kode tertentu yang dimainkan oleh konsumen yang mengetahuinya dari informasi “mulut ke mulut”. Ketika korek api tidak dihidupkan di depan mulut itu pertanda bukan perokok. Tetapi kalau dihidupkan di atas kepala merupakan komunikasi simbolik antara konsumen dengan “induk semang” untuk mempertemukan “produknya”. Ada juga yang menggunakan saputangan diselipkan di belakang saku celana. Jika sapu tangan yang diselipkan tersebut bentuknya segitiga maka konsumen siap berkomunikasi. Bagaimana transaksinya? Induk semang yang akan mengaturnya dengan memperlihatkan foto-foto produknya.
Menurut Umiarso praktek prostitusi terjadi karena faktor gaya hidup, budaya, trauma kehidupan, dan ekonomi. Jika sudah berbicara pola pikir kapital, maka apapun sepanjang menjadi keuntungan maka dapat dijadikan sarana komoditi. (don)