Prahara Rumah Tangga (part 2) Aku Hampir Menjadi Pembunuh Karena Suamiku
Oleh:Emilia Beribe/A
Rengekan si adik membuatku tersentak seketika dari lamunan. Aku hampir lupa kalau ada si adik yang sedang bermain di sampingku. Aku segera menggendongnya dan membawanya pulang ke rumah. Aku harus tetap kuat untuk anak-anakku. Ketika tiba di rumah aku langsung menuju ke dapur lalu menyiapkan makanan untuk si adik. Aku tak melihat suamiku. Di dalam hatiku aku bertanya, dimana suamiku. Aku menahan diri untuk tidak segera mencarinya, aku gengsi. Buat apa aku mencarinya? Biarkan saja. Setelah selesai menyuapi si adik aku bersiap untuk mencuci pakaian. Ku ajak si adik bermain di belakang agar aku bisa menjaganya sambil mencuci pakaian. Aku terkejut ketika melihat tumpukan pakaian kotor sudah tak ada lagi.
Aku menggendong si adik dan menuju ke belakang dengan setengah berlari. Kulihat suamiku sedang menjemur pakaian. Ternyata ia yang sudah mencuci semua pakaian kotor. Ingin rasanya aku menegurnya namun tak jadi. Lagi-lagi karena aku gengsi. Diam-diam aku kembali ke dalam rumah lalu membereskan dapur. Sepertinya suamiku belum makan, atau mungkin sudah, entahlah aku berusaha tak peduli. Setelah membereskan dapur aku bermain bersama si adik. Aku masih belum berselera makan.
Tak lama kemudian suamiku muncul. Rupanya ia sudah selesai menjemur pakaian. Aku pura-pura mengganggu si adik yang sedang bermain. Ia mendekatiku lalu ikut duduk di lantai bersamaku dan si adik.
“Masih marah? Maafkan aku ya.” Katanya lalu menggenggam tanganku. Aku diam memasang wajah tak peduli. Gengsi kalau aku cepat-cepat memaafkannya. Dia harus mendengarkan luapan perasaanku dulu sebelum mendapatkan maafku, karena jika tidak rasanya aku tak puas. Bagaimanapun aku harus bicara dulu.
“Maafkan aku ya?” Ia kembali berkata sambil mengelus pipiku.
“Tolong jangan diulangi lagi. Aku menyayangi kamu dan anak-anak kita, jika aku sedang sibuk tolong bantu aku, meskipun hanya sekedar menemani anak-anak bermain aku sudah sangat bahagia.” Kataku menahan airmata. Ia terdiam sesaat.
“Iya aku akan berusaha untuk berubah, maafkan aku ya.” Ujarnya lalu memelukku. Aku mengangguk pelan, membenamkan tubuhku dalam dekapannya.
Rumah tangga kami kembali berjalan normal. Kulihat ada sudah mulai ada perubahan sikap dari suamiku. Aku merasa bahagia.
**
Suatu hari ketika aku sedang sibuk membantu tetanggaku yang mengadakan pesta, suamiku yang baru pulang kerja menawarkan diri menjaga si adik. Aku dengan senang hati mengiyakan. Ia menggendong si adik yang sedang bermain bersama anak-anak lainnya dan membawanya pulang ke rumah.
“Suamimu baik amat ya. Meskipun lelah namun tetap menyempatkan diri menjaga anak disaat istrinya sedang sibuk. Beda sama suamiku kerjaannya keluyuran, main judi. Ia tak peduli meskipun anakku merengek minta digendong olehnya.” Ujar tetanggaku. Aku hanya tersenyum. Dalam hati ada rasa bangga juga bahagia.
Setelah membantu tetanggaku aku pulang ke rumah. Si kakak baru saja pulang sekolah. Aku buru-buru menyiapkan makanan untuk si kakak lalu ke kamar untuk melihat suamiku dan si adik. Ternyata keduanya sedang tertidur pulas. Niatku untuk mengajak makan siang bersama kuurungkan. Baru saja aku hendak keluar kamar ponsel suamiku yang diletakannya di samping bantal bergetar. Aku sudah berniat mengabaikan namun entah kenapa timbul rasa ingin tahuku. Pelan-pelan aku mengambil ponselnya dan mengecek. Ada pesan whatsaap dari seseorang yang diberi nama Z di kontaknya. Tubuhku terasa lemas, jantungku seakan berhenti membaca semua pesan yang mungkin lupa dihapus oleh suamiku. Ternyata suamiku berselingkuh. Selama ini ia memiliki wanita lain dan aku sama sekali tidak menyadarinya. Parahnya mereka sudah sering bertemu dan suamiku selalu memberinya uang. Hatiku sangat sakit. Airmataku tumpah seketika. Aku berusaha menahan hatiku. Menghapus airmataku. Aku tak ingin si kakak melihatku menangis. Pelan-pelan aku membagunkan suamiku. Ia terkejut melihatku.
“Ada apa? Mengapa kamu menangis?” Ia bertanya dengan wajah serius.
“Jelaskan padaku. Apa maksud semua ini.” Kataku sambil memberikan ponselnya. Ia buru-buru merampas ponselnya dari tanganku. Sepertinya ia sudah bisa menebak apa yang terjadi.
“Apa yang harus kujelaskan?” Ia bertanya. Aku tahu ia berpura-pura tak tahu.
“Aku sudah tahu kamu berselingkuh.” Jawabku singkat. Ia terdiam.
“Jawab aku!” Suaraku meninggi.
“Aku hanya iseng” jawabnya santai.
“Iseng? Omong kosong. Aku bukan anak kecil yang mudah kau bohongi. Aku sudah membaca semua pesan kalian.
Sampai hati kau khianati aku sedangkan aku mati-matian berusaha menjaga hatiku untuk tetap setia kepadamu. Ini balasanmu kepadaku??” Aku tak bisa menahan amarahku.
“Aku sudah bilang aku hanya iseng, kenapa kamu memperpanjang masalah ini?” Gantian dia yang marah padaku. Aku tidak terima.
“Kamu yang salah mengapa kamu marah padaku? Apakah aku tak bisa menegurmu jika kamu melakukan kesalahan? Apakah harus kubiarkan kau bevas melakukannya meskipun itu salah? Jika kamu tak cinta lagi padaku katakan. Jangan dengan cara begini.” Airmataku mengalir deras.
“Kamu yang membuat masalah ini jadi rumit. Aku lelah bekerja dan aku hanya iseng. Apa kau tak paham juga?” Ia terus membela diri. Aku diam. Sungguh hatiku sangat sakit. Aku keluar kamar berusaha bersikap normal di depan si kakak. Dadaku terasa sesak. Hampir hilang warasku. Kulihat si kakak sedang memainkan beras.
“Jangan kakak.” Aku menegurnya pelan. Ia tak mendengarkanku.
“Kakak!! Berhenti bermain beras.!” Aku berteriak marah.
“Iya bu.” Ia menjawabku namun tetap memainkan beras. Aku gagal mengendalikan amarahku. Kuraih gunting kecil di sampingku dan melemparkan ke arah si kakak. Seketika terdengar suara teriakan si kakak. Ia menjerit dan menangis. Gunting yang kulemparkan ke arahnya mengenai lengannya. Dari jauh kulihat darah mengalir di lengannya. Aku panik.
“Ibu, sakit bu.” Ia menangis. Aku segera berlari menghampirinya. Aku merasa sangat bersalah. Aku menggendongnya membawanya menuju ke ruang tamu lalu buru-buru aku mengambil kotak P3K. Setelah kuobati lukanya aku memeluknya dan meminta maaf. Aku menangis menumpahkan segala rasa sakit di hatiku sekaligus rasa sesalku telah melukai anakku sendiri. Si kakakpun ikut menangis bersamaku. Sungguh aku tak pernah berbuat kasar meskipun tingkah si kakak sering membuatku sangat marah. Baru kali ini aku kehilangan kontrol. Amarahku kepada suamiku kulampiaskan kepada anakku aku sungguh keterlaluan. Aku sangat menyesali perbuatanku. (bersambung…)