Prahara Rumah Tangga (part 1) Suamiku Pura-Pura Tuli
(oleh: Emilia Beribe/A)
Nikmatnya ikan asin dan sayur daun kelor ditambah sambal tomat yang kuhidangkan dengan nasi hangat pagi ini berhasil membuat selera makan anak-anakku bertambah. Aku tersenyum melihat kedua anakku makan dengan lahap. Setelah membersihkan meja makan dan mencuci piring, aku membereskan tempat tidur anak-anak sambil meneriaki si kakak yang sedang bermain mobil-mobilan. Si adik berlari menghampirku, menarik selimut yang sudah kurapikan.
“Jangan nak.” Kataku pelan melarangnya membawa keluar selimut itu dari kamar. Ia menuruti perkataanku. Aku menggendongnya menuju ke dapur. Ketika melewati kamar mandi kulihat pintu kamar mandi terbuka. Si kakak belum juga mandi.
“Kakak! Ayo mandi!” Aku memanggilnya lagi lalu menyiapkan kopi untuk suamiku yang sedang bersantai memainkan ponselnya di teras rumah.
“Ini kopinya.” Kataku kepadanya lalu meletakkan secangkir kopi panas di atas meja. Ia mengangguk tanpa melihatku. Matanya sibuk memperhatikan ponselnya. Dengan sedikit kesal aku pergi ke dapur menyelesaikan pekerjaanku. Si adik mulai rewel. Aku berusaha membujuknya.
“Bu ! Ibu ! Tolong ambilkan handukku.” Suara teriakan si kakak dari kamar mandi. Aku bingung mana yang harus kudahulukan, sambil terus berkata jangan, melarang si adik yang sebentar-sebentar naik ke atas meja, lalu membuka tutup pintu kulkas dan menghamburkan mainannya, aku setengah berlari membawakan handuk untuk si kakak di kamar mandi.
“Awas nak, jangan lari-lari.” Aku berteriak kepada si adik yang hampir terjatuh karena berlari mengikutiku. Aku menggendongnya kembali ke dapur, membujuknya hingga ia tenang lalu bermain. Aku lanjut memasak untuk makan siang karena setelahnya sudah ada tumpukan pakaian kotor yang menunggu. Baru saja aku memanaskan minyak untuk menggoreng ikan terdengar si kakak berteriak lagi.
“Bu, ibu, dimana pakaian seragamku?”
Aku berlari ke kamar dan mengambil baju seragam untuk si kakak lalu cepat-cepat kembali ke dapur. Aku melanjutkan pekerjaanku menggoreng ikan. Sambil menunggu ikan yang sedang digoreng aku mencuci piring.
“Bu! Sepatuku.” Terdengar suara teriakan si kakak lagi. Aku menaruh sepatu si kakak di rak sepatu paling atas jadi mau tak mau aku harus mengambil untuknya. Karena masih sibuk kucoba meminta tolong suamiku.
“Ayah, tolong ambilkan sepatu untuk si kakak.” Kataku kepada suamiku yang sedang menikmati kopinya dan masih asyik memainkan ponselnya. Jarak antara aku dan dia tak terlalu jauh. Ia sama sekali tak merespon. Entah ia mendengar perkataanku atau tidak akupun tak tahu. Setengah berteriak aku kembali meminta tolong suamiku.
“Ayah, tolonglah, ambilkan sepatu si kakak.”
“Tak bisakah kau membiarkanku menikmati kopi tanpa menggangguku?” Suamiku menjawab dengan dengan nada kesal. Aku tak banyak bicara. Aku malas berdebat. Cepat-cepat kulihat ikan yang kugoreng lalu berlari lagi ke kamar mengambilkan sepatu untuk si kakak. Aku kembali lagi dengan pekerjaanku. Aku merasa kesal dengn suamiku yang sama sekali masa bodoh meskipun ia tahu bahkan mendengar dengan jelas teriakan-teriakanku dan kesibukanku. Ia seperti pura-pura tuli. Aku berpikir betapa bahagianya aku jika saja suamiku ikut menolongku meskipun hanya sekedar menjaga si adik agar aku bisa mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus si kakak. Bukan baru sekali ini ia bersikap masa bodoh. Hampir setiap hari jika ia sedang tak bekerja ia enggan menolongku bahkan hanya untuk mengurus anak-anak. Seperti biasa aku memendam rasa kesalku juga amarahku hingga sakit di hatiku sembuh dengan sendirinya.
“Bu, aku sudah siap. Tolong antarkan aku bu.” Suara si kakak membuyarkan lamunanku.
“Sebentar nak.” Jawabku sambil buru-buru mengeluarkan ikan goreng dari wajan hampir gosong.
“Jangan nak!” Teriakku kepada si adik yang sedang menumpahkan minyak goreng ke lantai. Dengan cepat kusambar botol minyak goreng yang dipegang si adik lalu mengelap lantai dan menggendong si kakak. Si berteriak menangis. Aku coba membujuknya namun ia masih saja menangis.
“Ayah, tolong antarkan kakak ke sekolah. Adik masih rewel aku tak bisa pergi.” Pintaku kepada suamiku. Ia mengangkat wajahnya, menatapku dengan tatapan kesal.
“Bawa saja sekalian si adik. Lihat, kopiku belum habis.” Jawab suamiku.
Aku menahan kesal di hatiku. Kuputuskan untuk membawa si adik ikut mengantar si kakak namun si adik tak mau dan terus saja menangis. Saking kesalnya aku sengaja membentak si adik. Maksudku agar suamiku sedikit tersentuh dan bisa membantuku mengatasi kerewelan si adik namun sia-sia. Suamiku tetap bersikap masa bodoh.
Aku berusaha membujuk si adik untuk pergi bersamaku.
“Lihat ikan di wajan, jangan sampai hangus.” Kataku kepada suamiku dengan nada tegas. Aku benar-benar emosi namun aku coba menahannya.
“Matikan saja kompornya.” Sahut suamiku santai. Emosiku sudah di ubun-ubun. Aku melihat kedua anakku. Kucoba sebisa mungkin menahan amarahku. Aku mematikan kompor lalu tanpa pamit aku pergi membawa si adik mengantar kakak ke sekolah. Dengan berjalan kaki aku mengantar si kakak ke sekolah, karena aku tak bisa mengendarai sepeda motor.
***
Keringat membasahi tubuhku. Jarak dari rumah ke sekolah lumayan jauh. Meskipun masih pagi namun terik mentari sangat panas menyengat kulitku. Belum lagi perutku sangat lapar. Aku sempat beristirahat beberapa kali. Si adik menangis karena kehausan. Kukumpulkan kekuatanku agar cepat tiba di rumah. Akhirnya aku tiba di rumah. Hatiku lega. Aku buru-buru mengambil air minum untuk si adik. Aku tak melihat suamiku. Ketika aku masuk ke kamar kulihat ia sedang berbaring. Ia masih asyik memainkan ponselnya. Aku berusaha untuk tak peduli.
“Aku lapar. Siapakan makanan untukku.” Katanya ketika aku hendak keluar dari kamar.
“Temani si adik bermain agar aku bisa menyiapkan makanan untukmu.” Balasku.
Ia memelototiku dengan wajah kesal. Aku tahu ia keberatan. Ia tak mau diganggu. Aku mengalah dan membawa si adik kembali bersamaku di dapur. Si adik kubiarkan bermain sendiri kemudian kunyalakan kompor untuk menggoreng ikan yang kutinggalkan tadi. Aku membereskan meja makan dan menyiapkan makanan untuk suamiku. Baru saja aku melangkah ke ruang makan, si adik menangis minta digendong. Aku mencoba membujuknya namun ia tetap saja menangis. Tiba-tiba suamiku muncul.
“Apakah makanannya sudah siap?” Ia bertanya sambil berjalan menuju ke meja makan.
“Belum. Si adik rewel, aku masih berusaha membujuknya.” Jawabku.
“Kerjamu sangat lamban. Kau terlalu santai. Hanya menyiapkan makanan saja sangat lama.” Ia berkata marah. Hatiku sakit mendengar ucapannya.
“Jika saja kau mau membantuku menjaga si adik. Aku pasti sudah selesai menyiapkan makanan untukmu.” Jawabku.
“Jadi kau menyalahkanku sekarang? Sudah menjadi tugasmu mengurus urusan rumah tangga. Jadi jangan sekali-kali kau salahkan aku.” Ia membentakku. Aku berniat mengalah namun emosiku tak bisa kubendung.
“Apa kau pikir aku tak merasa lelah? Kau pikir aku robot? Kau tak punya perasaan. Kau lihat sendiri bagaimana kesibukanku mengurus anak-anak juga rumah ini. Aku tahu kewajibanku sebagai istri dan juga ibu. Tapi tak bisakah kau menolongku sekali saja? Kau bahkan tak punya rasa kasihan sedikitpun kepadaku. Aku merangkap semua pekerjaan, kau hanya duduk dan menontonku. Kau dengar suaraku berteriak sejak tadi tetapi kau pura-pura tuli. Kau lihat aku mondar-mandir kesana kemari mengurus semuanya namun kau pura-pura buta. Kau lebih mementingkan ponselmu daripada anak-anakmu. Kau sungguh tak punya perasaan.” Aku berteriak marah kepada suamiku. Ia terdiam seketika. Ia terlihat sangat terkejut, mungkin ia tak menyangka aku bisa semarah ini. Karena biasanya aku selalu diam dan memendam semuanya, namun kali ini aku benar-benar tak bisa menahan diriku lagi. Kulihat ia tertunduk diam, tak lagi menjawab. Aku tak peduli lagi dengan ikan yang sudah gosong di wajan. Rasa laparku mendadak hilang. Kumatikan kompor lalu menggendong si adik keluar dari rumah. Aku tak tahu diamnya adalah diam penyesalan atau diam karena terkejut melihatku marah. Aku lelah, aku ingin menenangkan pikiranku sejenak.
Perdana dipublikasikan oleh FP Dua Tanda Mata (Bersambung…..)