Politik Islam Hanya Bayangan Karena Umat Belum Sadar
LANDUNGSARI-Jika telingga mendengar kata politik maka asumsi yang terlintas ada negatif. Padahal politik adalah salah satu cara memperjuangkan kepentingan umat Islam untuk meraih kejayaan. Tentu cara mendapatkan kembali kekuasan tersebut melalui cara halal sesuai syariat Islam. Namun, banyak orang menganggap jika politik islam hanyalah bayangan. Benarkah demikian? Ahli poltik Islam Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Gonda Yumitro, M.A, menceritakan bahwa ada politik Islam dan Islam politik. Dua hal berbeda.
Menurut Gonda-begitu Gonda Yumitro disapa-pemahaman masyarakat sekarang tentang politik adalah cara meraih suatu kepentingan. Itu sebabnya elemen politik melekat tiga hal yaitu kepentingan, kekuatan (power/modal), dan kekuasaan. Nah ujung-ujungnya politik adalah merebut kekuasaan. Tentu ini membuat kesan bahwa politik adalah kotor. “Jika ada yang mengatakan ini adalah dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, ada tidak benar. Sebab ada teori demokrasi elit bahwa demokrasi bukan seperti kriteria ini. Rakyat hanya partisipasi pada pemilu sedangkan yang berkuasa adalah elit, orang yang punya modal, ” ujar pengarang buku Menuju Kampus Impian ini.
Menariknya Gonda menyebutkan dalam politik ada segitiga kekuasaan. Yaitu state (negara), market, dan rakyat. Negara mempunyai kekuasaan politik, market mempunyai kekuasaan ekonomi, dan rakyat. Seharusnya negara dikontrol oleh masyarakat, market dikontrol rakyat, anatara pemerintah dan market juga saling mengimbangi. Realitasnya rakyat sekarang lemah karena persengkololan antara pemilik modal dan pemilik kekuasaan. “Hal ini disebabkan politik yang sekarang berkembang ini didasarkan pada western perspektif,” kata penulis buku Belajar dari Negeri Gandhi ini.

Mengacu pada teori marketfelli, kata Gonda, di masyarakat ada dua moral. Yaitu moralitas yang dibangun untuk masyarakat dan moralitas untuk penguasa. Moralitas untuk masyarakat ini diperlukan agama agar punya etika, patuh. Tapi moralitas penguasa tidak boleh menggunakan moralitas yang sama dengan masyarakat, agar penguasa itu tidak mudah dijatuhkan.
Lantas perspektif Islam? Gonda menjelaskan di dalam masyarakat ada dua istilah yang sering digunakan. Yaitu politik Islam dan Islam politik. Jika politik Islam artinya berpolitik sesuai tuntunan Islam. Sebagai muslim menyakini bahwa Islam itu mempunyai konsep politik. Sebab Islam itu sudah sempurna dan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam sudah mencontohkan struktur pemerintahan di Madinah.
Saat itu, Nabi Shalallahu Alaihi Wassallam mempunyai sekretaris umum, urusan pajak, urusan zakat, ada yang mengurus penulisan Al Quran, pembangunan, dan urusan militer. Bahkan ketika Nabi Shallallahu Alaihi Wassallam wafat, sistem politik Islam juga terlihat dalam memilih pemimpin pengganti Nabi Shallallahu Alaihi Wassallam.
Mulai masa Khulafaur Rhasidin, masa Kehalifahan Bani Umaiyah, Masa Bani Abasyiyah, dan Turki Ustmani yang akhirnya runtuh pada sekitar tahun 1914. Sementara Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam sekitar 630-an sudah membentuk struktur negara melalui piagam Madinah. “Jadi kalau dihitung dari masa nabi hingga Turki Ustmani hampir sekitar 1300 tahun umat Islam berkuasa. Ini membuktikan bahwa Islam mempunyai konsep politik. Hanya saja 100 tahun terakhir warna politik dari Islam menuju perspektif barat. Seakan-akan Islam tidak punya sejarah tidak memiliki peradaban,” kata dosen Hubungan Internasional FISIP UMM ini.
Gonda menjelaskan bergesernya perspektif politik ini, membuat umat Islam tidak mengembangkan konsep politik Islam namun justru Islam politik. Jika politik Islam artinya berpolitik mengunakan konsep Islami, sebaliknya Islam politik adalah agama Islam dipolitisasi untuk kepentingan politik. “Umat Islam akan ditinggalkan jika legitimasi politik ini tidak dibutuhkan sebab kepentingan politik pengusasa sudah tercapai,” kata Alumni S2 Jamia Millia Islamia Annamalai University, India.
Hal ini disebabkan beberapa hal, Gonda menyebutkan faktor ilmuan politik yang berada di kampus tidak merujuk referensi Islam melainkan perspektif politik modern, buku tentang politik Islam masih tergolong klasik yang prinsip-prinsipnya sudah lengkap hanya pembahasannya masih belum ilmiah seperti pembahasan buku politik barat, sayangnya tidak banyak pakar politik Islam yang merujuk pada kitab-kitab ulama terdahulu. Dampaknya sangat luas sebab ilmuan sebagai salah satu agen perubahan masyarakat yang tidak berdasarkan referensi politik Islam maka bisa menciptakan politikus yang tidak islami pula.
Berikutnya, kata Gonda, hilangnya kesadaran diri sebagai muslim. Hal ini membuat jiwa muslim lebih bangga wastrenisasi dibandingkan kebudayaan Islam. Ada kekuatan lokal dan internasional yang tidak ingin politik Islam berkembang.
Perda syariah apakah bukti politik Islam? Gonda menilai suatu kebijakan yang berlabel “Islam” harus ditinjau dari dua aspek. Aspek subsatntif dan aspek formalitas. Jika perda syariah substantifnya apa. tidak bisa hanya melihat kalau melanggar lalu dicambuk, namun harus dilihat secara substantifnya. Mengapa? Karena kajian politik Islam di kalangan ilmuan masih belum tuntas. Tentang apa bedanya politik Islam dengan politik liberal, blueprint (bentuk) politik Islam itu seperti apa. Perdedaan ini merujuk pada sejarah tentang kepemimpinan dalam khulafaur Rasyidin setelah nabi wafat ada proses baiat, penunjukkan, dan pemilihan. Muncullah persepsi jika boleh dalam islam menggunakan sistem penunjukan (kesultanan/kerajaan), presidium, dan pemilihan. “Dari realitas ini seharusnya formalisasi politik Islam mungkin bukan menjadi prioritas. Namun bagaimana meyadarkan masyarakat tentang nilai-nilai Islam yang harus dimunculkan. Sehingga tidak menjadi benturan di masyarakat,” tandas penulis buku Masalah Politik Dunia Islam ini. (don)