Pentingnya Menjaga Persatuan dan Kesatuan
Oleh: Drs H Imam Supandi Msi
Belakangan, berbagai perselisihan kerap dibesar-besarkan. Banyak fitnah dan perpecahan terjadi hanya karena mengejar kepentingan pribadi atau golongan sehingga seringkali persatuan dan persaudaraan disisihkan.
Padahal, seperti disebutkan Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. Kamaruddin Amin, MA, persatuan dalam Islam menurut Alquran adalah sesuatu yang sangat esensial, harus dirawat, dibangun dan juga dijaga.
‘Wa’tasimu bihablillahi jami’an wa la tafarraqu’, berpegang teguhlah di jalan Allah, di tali Allah, dan janganlah bercerai-berai. (QS. Ali Imran: 103)
Persatuan tidak mungkin dibangun di atas keseragaman, karena umat telah ditakdirkan beragam dan berbeda. ‘Inna khalaqnakum min dzakarin wauntsa waja’alnakum syu’uban waqabaila lita’arafu inna akramakum ‘indallahi atqakum’. Kita telah diciptakan bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dan yang paling mulia di antara kita adalah yang paling bertakwa. (QS. Al Hujurat: 13)
Baca juga: Makna Sesungguhnya ‘Kembali pada Alquran dan Hadis’
“Ada dua dimensi yang penting untuk kita lihat. Pertama, akidah. Kalau kita yakin bahwa Allah adalah Tuhan kita, kita yakin bahwa Muhammad Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam adalah Nabi kita, dan kita percaya pada hari akhir, ini adalah dasar untuk kita membangun persatuan. Kalau kita sudah memiliki kesamaan tiga hal tadi, cukuplah menjadi alasan untuk kita bersatu,” ujar Kamaruddin.
Yang kedua, dari dimensi syari’ah. Apabila kita sama-sama melaksanakan salat, sama-sama menunaikan zakat, haji dan berpuasa, itu sudah menjadi alasan yang cukup bagi umat Islam untuk bersatu.
Sedangkan mengenai bagaimana salat itu dilaksanakan, bagaimana zakat itu ditunaikan, dan bagaimana manasik haji, tak dapat dipungkiri terdapat banyak perbedaan, terdapat banyak riwayat maupun perbedaan mazhab.
“Tetapi itu tidak menjadi alasan untuk kita bercerai, untuk kita berkonflik. Asal kita sama-sama salat, puasa, zakat, haji, percaya kepada Tuhan, yakin akan kenabian Muhammad, percaya pada akhirat, cukuplah bagi kita untuk bersatu. Perbedaan pendapat adalah sebuah keharusan, tetapi dimensi akidah dan dimensi syari’ah cukuplah menjadi alasan bagi kita bersatu,” urai Kamaruddin.
Nah, bagaimana dengan nonmuslim? Apakah kita boleh menjustifikasi pergaulan kita dengan mereka? Allah SWT berfirman di dalam Alquran ‘Laa yanhaakumullaahu ‘anil ladziina lam yuqaatiluukum fid diini wa lam yukhrijuukum min diyaarikum an tabarruuhum wa tuqsithuu ilaihim Innallaaha yuhibbul muqsithiin (QS. Al Mumtahanah: 8).
“Allah SWT tidak melarang kita untuk berbuat baik kepada meraka, untuk berlaku adil kepada mereka yang tidak memerangi kamu dalam agama dan tidak mengusir kamu keluar dari negeri kamu. Jadi bersama nonmuslim kita harus toleran,” tutur Guru Besar UIN Alauddin Makassar itu.
Toleransi yang dimaksud adalah tidak perlu memaksakan diri atau memaksakan orang yang berbeda akidah dengan kita untuk percaya kepada agama kita. Begitu juga sebaliknya, tidak memaksakan diri untuk percaya kepada agama mereka.
“Kita tidak perlu toleransi secara teologis. Kita sebagai umat Islam yakin bahwa agama saya yang paling benar. Di sisi lain kita juga yakin bahwa ada saudara non muslim yang juga yakin dan percaya kepada agamanya sebagai agama yang otentik, genuine, yang mereka percaya. Kita hormati itu. Kita harus menghargai itu semua dan toleran hidup bersama di negara yang bernama Indonesia ini,” papar Kamaruddin.
Menurutnya, hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam ketika Nabi membangun sebuah entitas politik di Madinah. Nabi bersama kaum musyrikin bahkan Yahudi, membangun sebuah perjanjian atau konstitusi, yang bernama konstitusi Madinah. (*)