Pamflet Budaya
oleh: Bara Patyradja, Mantan Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang AR Fakhruddin Yogyakarta
JIKA di negeri al-Mulk ada Maluku Kie Raha, maka di Nusa Nipah ada Solor Watan Lema. Meski kedua frase ini berbeda secara etimologis, akan tetapi dari segi terminologis mengandung makna filosofis yang sama, yakni merupakan representasi kesatuan kawasan kultural yang mendukung suatu kesadaran kolektif untuk membangun peradaban berdasarkan model pemerintahan monarki yang bertumpu pada Raja atau Sultan.
Apakah keterhubungan portofolio gagasan ini hanya merupakan sebuah kebetulan dalam sejarah atau ada irisan kultural yang saling memengaruhi model gerakan politik antar suku bangsa di masa lalu?
Dalam pandangan saya, polarisasi institusional ini punya ayah ibu kebudayaan yang sama. Sebuah replika gagasan. Kita tahu bersama—di tubuh kebudayaan kita mengalir berbagai DNA dari bermacam ras, bangsa dan puak. Namun tak dapat dipungkiri bahwa memori kolektif kita pernah dipersatukan oleh satu cita-cita besar yang bernama Solor Watan Lema.
Itulah legacy yang telah diwariskan para tetuah, para Aulia yang dari merekalah kita dapat menghirup udara kebebasan. Dari mereka pula kita mencecap nikmat cita rasa kue pedda, sanole, belawa (urap dari bahan mentah), dan koda kirin (oral tradition). Dan kita, hingga zaman android ini, secara fundamental, masih teguh mengenakan jubah “kesucian” kultural itu dan tak goyah berpijak pada leik makar (jalan) para founding fathers berdasarkan poksi dan fungsi kultural masing-masing.
Cukup bahwa kolonialisme pernah dengan begitu licik memecah belah kita hingga terbentang jarak antara satu dengan yang lain. Sekian lama kita kehilangan intensitas. Kehilangan identifikasi. Hingga lambat laun geneologi identitas kultural kita sebagai sebuah kepaduan suku bangsa pun menjadi ilusif.
Hal ini semakin diperparah oleh berbagai polemik lokal. Intrik politik dan saling berebut hegemoni telah mencederai nalar dan nurani sejarah kebudayaan kita. Hingga kita larut dalam kanal anti pati berabad-abad. Tenggelam dalam riuh dendam sektoral. Sektarianisme etnik dan golongan, sentimen suku serta kelompok, demi ego sentrik untuk membuktikan apa dan siapa yang lebih megaloman, apa dan siapa yang lebih tua dan purba.
Maka lewat pamflet budaya ini, atas nama seluruh generasi yang akan datang dari masa depan, mari kita benamkan mata rantai historikal yang gelap ke dalam sumur tanpa dasar. Sebab para leluhur kita, terhubung secara idiologis dan bukan biologis apalagi hanya sekedar teritorial. Ada vission. Dan juga misi bagi kemaslahatan.
Begitulah. Sejarah, yang terucap maupun tertulis—senantiasa bersifat refrensial. Sebagai generasi penerus, kita hari ini punya tanggung jawab intelektual untuk menggenapi dan menjernihkan berbagai versi dan narasi yang obscur (kabur).
Selebihnya, soal kebenaran sejarah—tak bisa kita hakimi, tak bisa kita adili, karena kita hanya penutur dan bukan pelaku.
Tugas kita hanya merinci peristiwa, apa adanya. Sejarah memang tak luput dari ambivalensinya. Keagungan di satu sisi dan tragik di sisi lain. Horor sekaligus romantika yang telah mewarnai dan membentuk kronik setiap sejarah kebudayaan. Maka Hero atau Pecundang—tetap patut kita catat. Sebab semua punya tempat. Semua pantas dikenang.(*)
Penjelasan Istilah: 1. Gugu/Jogugu adalah sebutan bagi seorang Perdana Menteri, selalu dijabat orang-orang kepercayaan Sultan yang membawahi para Babato/Menteri dalam sistem birokrasi Monarki Kesultanan Gapi.
2. Kapita Lau (Panglima Laut) adalah pimpinan militer yang selalu dijabat putra mahkota atau salah seorang putra Raja lainnya.