Mudik ke Kampung Akhirat
oleh : Jemi Anggara, S.PdI, Ketua Majelis Pendidikan Kader, Pimpinan Cabang Muhammadiyah, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah, Kita bersyukur kembali dipertemukan dengan Idul Fitri, yang secara Bahasa terdiri dari 2 kata dalam Bahasa arab. Kata Id berasal dari akar kata ‘aada – ya’udu yang artinya kembali. Adapun Ibnul Arabi mengatakan :
سمي العِيدُ عيداً لأَنه يعود كل سنة بِفَرَحٍ مُجَدَّد
Sumiya al ‘Id, ‘Idan liannahu ya’udu kulla sanah bifarhin mujaddadin
“Hari raya ‘Id, dinamakan ‘Id karena ia berulang setiap tahun dengan membawa kegembiraan yang baru”. (Lisan Al-Arab, 3/315). Sedangkan kata Fitri berasal dari akar kata Afthara – Yufthiru yang berarti sarapan atau berbuka. Dengan kata lain Idul Fitri berarti hari raya karena dibolehkannya kembali sarapan, atau berbuka, kembali makan, setelah berpuasa selama satu bulan.
Adapun masyarakat kita di negeri ini, seringkali mengisi dan mengartikan Idul Fitri dengan kegiatan Mudik alias pulang kampung. Idul Fitri seakan serasa hampa apabila tidak berkumpul dan bersua dengan keluarga tercinta di kampong halaman. Mudik berasal dari kata udik, sebuah aktivitas pulang menuju kampung halaman meskipun dengan berbagai resiko yang ada ditengah perjalanan. Bahkan, seringkali mereka yang mudik ke kampung halaman harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal, bahkan tidak jarang mengalami kecelakaan yang berujung pada kematian.
Di dalam perjalanan mudik ini, mereka berlomba-lomba mempersiapkan bekal agar bisa segera bertemu, berkumpul dan berbagi kebahagiaan dengan keluarga di kampung halaman. Kalau untuk mudik ke kampung halaman saja, kita rela matia-matian mencari bekal, dan meniti jalan untuk kembali pulang, bahkan nyawa menjadi taruhan, pertanyaannya adalah apa yang telah kita siapkan untuk mudik ke kampung akhirat yang kekal. Barangkali inilah yang hari ini sering luput dari perenungan kita, bahwa pesan dari Idul Fitri bukan hanya sebatas kembali berbuka untuk kemudian bersilaturrahim dengan keluarga, akan tetapi pesan utamanya adalah bagaimana kita mempersiapkan mudik terbaik kita, diatas kendaraan dengan roda manusia menuju kampung akhirat yang kekal.
Didalam sebuah Syair berbahasa arab disebutkan :
ولدتك أمك يا ابن ادم باكياً
والناس حولك يضحكون سرورا
فاحرص لنفسك أن تكون إذا بكوا في يوم موتك ضاحكاً مسرورا
Waladatka ummuka ya ibna Adama baakiya, Wa An Nashu haulaka yad-hakuuna suruura, Fahris linafsika an takuuna idza bakau fi yaumi mautika dhahikan masrura. “Wahai anak Adam, Ibumu telah melahirkanmu dalam keadaan engkau menangis, sementara orang-orang disekitarmu tertawa gembira, Maka berusahalah untuk dirimu, agar saat orang-orang disekitarmu menangis dihari kematianmu,Engkau dalam keadaan tersenyum gembira”
Didalam tradisi masyarakat Jawa, ada beberapa istilah yang disematkan bagi mereka yang telah meninggal dunia, sesuai dengan keadaan kesholihan mereka ditengah masyarakatnya. Untuk mereka yang meninggal dunia, sementara kehidupan mereka ditengah masyarakat biasa-biasa saja, saat mereka meninggal dunia, biasanya masyarakat akan menyebutnya dengan istilah MATI yang berarti Nikmatnya Ganti. Sedangkan untuk mereka yang meninggal, sementara keburukannya lebih banyak dibanding kebaikannya ditengah masyarakat biasanya mereka akan dilabeli dengan istilah MATEK yang artinya Nikmatnya Entek (nikmatnya habis).
Sedangkan untuk mereka yang meninggal dunia, sedangkan di kehidupannya tidak pernah berbuat baik sama sekali, suka bermaksiat, menyakiti tetangga dsb, biasanya saat meninggal dunia mereka akan disebut dengan istilah BONGKO yang artinya diobong di neroko (dibakar di neraka). Adapun untuk mereka yang mengisi hari-harinya dengan kebaikan dan amal shalih, baik keshalihan sosial maupun individual, saat mereka meninggal biasanya mereka akan disebut dengan istilah sedo (seksane wus ba’do) artinya siksanya di dunia sudah selesai sehingga tinggal menikmati balasan kebaikannya di akhirat.
Keadaan orang yang meninggal dunia setidaknya dibagi menjadi dua, yang pertama, apabila dia orang yang baik, maka diibaratkan seperti seorang perantau yang sukses, yang didalam perantauannya itu ia selalu mengirim hasil jerih payahnya ke kampung halaman. Ketika masanya dianggap cukup, ia dipanggil untuk kembali pulang ke kampung halaman, menikmati hasil dari jerih payahnya selama ini, bukan hanya itu, ketika ia pulang ke kampung halamannya ia disambut oleh masyarakatnya, kerabatnya dan bahkan para pejabat di kampung halamannya. Ia dielu-elukan sebagai contoh dan teladan orang yang sukses.
Sehingga ia pulang dalam keadaan penuh kebanggaan dan kebahagiaan. Adapun yang kedua, keadaan orang yang senantiasa mengisi hari-harinya dengan keburukan, maksiat dan dosa, saat ia meninggal diibaratkan seperti seorang tahanan yang melarikan diri dari penjara, kemudian ditangkap kembali oleh aparat dan sipir penjara. Sehingga, ia kembali masuk ke penjara dengan penuh ketakutan, karena terbayang betapa keras siksaan yang akan diterimanya pasca menjadi buronan.
Keadaan seperti inilah yang sering kami dapati, saat menemani sakaratul maut beberapa pasien di Rumah Sakit. Sesekali kami mendapati pasien, terutama mereka yang tidak beriman kepada Allah swt, mereka menampakkan wajah yang pucat pasi penuh ketakutan di proses menjelang ajal.
Barangkali saat itu terbayang dihadapan mereka betapa keras siksaan Allah swt atas pengingkaran dan pembangkangan, dosa dan kemaksiatan yang selama ini mereka lakukan. Di sisi lain, tidak jarang kami mendapati, keadaan pasien yang mengisi hari-harinya dengan amal shalih dan kebaikan, di akhir hayatnya mereka menampakkan wajah penuh keteduhan dan mengakhiri kehidupan dengan senyum keikhlasan. Momen sakaratul maut barangkali menjadi satu-satunya momen bagi manusia yang tidak bisa direkayasa, murni apa adanya, mengungkap jati diri seorang hamba yang sebenarnya. Tidak ada manusia yang bisa melakukan pencitraan di momen sakaratul mautnya.
Oleh karena itu, senyampang Allah masih memberikan kesempatan kepada kita, sebelum pena diangkat, sebelum tinta mongering dan sebelum matahari terbit dari barat, marilah kita merenda kehidupan kita dengan ketaatan dan keshalihan, baik keshalihan personal maupun keshalihan sosial dengan terus berfastabiqul khairat, sampai Allah menyapa kita untuk kembali pulang ke kampung halaman dengan ungkapan :
يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً فَٱدْخُلِى فِى عِبَٰدِى وَٱدْخُلِى جَنَّتِى
yā ayyatuhan-nafsul-muṭma`innah irji’ī ilā rabbiki rāḍiyatam marḍiyyah fadkhulī fī ‘ibādī wadkhulī jannatī..“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya, Maka masuklah engkau ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah engkau ke dalam surga-Ku”. Inilah hakikat mudik kita, mudik yang sebenarnya, mudik ke kampung akhirat yang abadi nan kekal, semoga kita semua memiliki cukup bekal untuk meniti jalan menuju perjalanan ke kampung halaman di dalam SurgaNya yang kekal (*)