Milad RSIA 32 Para Perintis Kenang Meja Operasi Modifikasi Kursi Tukang Cukur
KASIN-Tepat 31 Agustus 2019, keluarga besar Rumah Sakit Islam Aisyiyah (RSIA) Malang berumur 32 tahun, dalam perjalanannya tentu penuh perjuangan dan pengorbanan dari para pelopor rumah sakit yang berada di Jalan Sulawesi, Kasin, Kota Malang ini. Mengingat bagaimana perjuangan tesebut, salah satu saksi sejarah berdirinya RSI dr Wati dalam penjelasannya mengungkapkan RSI Aisyiyah merupakan cita-cita panjang para kader Aisyiyah.
Realisasi cita-cita ini, dimulai tahun 1986 oleh Badriah Sakeh. Siapa beliau? Dokter Wati menjelaskan Badriah Sakeh adalah Ibunda Walida Sakeh yang sekarang di kantor manasik. Saksi sejarah lain adalah Ibu Mujani. Dari sinilah kemudian pengurus Aisyiyah saat itu menyerahkan kepada dr Syamsul Islam untuk melaksanakan pembangunan rumah sakit. Setelah terbentuk rumah sakit kemudian dilakukan pembentukan kepada bidang, diantaranya dr Hartoyo, dr Teguh Wahju Sardjono, dan dr Karyono Muntarum.

Sebagai pembuka dr Wati menceritakan perjuangan membangun RSIA bersama salah satu perintis yaitu, dr Teguh Wahju Sardjono. Saat itu karyawan RSIA masih 96 orang. Bahkan ketika tidak ada uang untuk operasional, kader Aisyiyah urunan mengumpulkan uang sebagai modal dasar pendirian rumah sakit, selain asset asrama putri. Itu sebabnya nama Aisyiyah diabadikan di rumah sakit.
Setelah izin rumah sakit turun, aku dokter Wati, tentu harus segera operasional dan fisik berkembang. Akhirnya untuk memenuhi dua unsur tersebut, pihak rumah sakit harus pinjam bank sekitar Rp 300 juta. Namun dokter perintisnya tidak ada yang bisa memberikan jaminan ke bank. Untungnya ada Bapak Aryono pemilik ayam goreng Prambanan, akhirnya memberikan agunan ke bank dengan menjaminkan kebun jeruknya. Alhamdulilah pembangunan tahap pertama selesai tahun 1992, dan sampai sekarang terus berkembang.
Sementara itu, dr Teguh Wahju Sardjono, menambahkan ketika berangkat berjuang karyawan di RSIA jumlahnya 17 orang. Bahkan ada sebagian yang sampai sekarang masih bekerja di RSIA. Seperti Mbak Qurotin, adalah perawat angkatan pertama yang jumlahnya masih 4 orang. Saat itu perawat tugasnya hanya mengambil darah lalu dikirim ke lab diberi nama RSIA padahal belum punya lab, begitu juga apotik juga sama saat itu diberikan obat melalui apotek yang makelar obat, lalu apoteknya yang mengirm ke RSIA. Tindakan operasi pertama juga dilakukan oleh almarhum dokter Sumardi dan prof Tomo. Dokter anastesinya pertama adalah dokter Hari Bahtiarto. Menariknya dokter Hari Bahtiarto membawa alat anastesi mertuanya untuk operasi.
Lebih menyentuh hati lagi, kata doter Teguh-nama panggilan Teguh Wahju Sardjono-meja yang digunakan untuk operasi adalah kursi miliknya tukang cukur yang dimodifikasi sebagai meja operasi. Teguh juga menceritakan ketika dia mengalami musibah kecelakaan orang pertama kali merawat adalah dokter Syamsul. Karena dokter Teguh masih bujang, maka bingung siapa yang merawatnya. Nah , keluarga dokter Syamsul inilah yang merawatnya sekitar 6 bulan.

Menurut dokter Teguh keberadaan RSIA ini tidak lepas dari RS Bersalin Muhammadiyah. Sebab pasien pertama yang dirawat RSIA oleh dokter Hendroyono dan pasiennya bukan dirawat di RSIA melainkan di RS Bersalin Muhammadiyah.
Dokter yang juga berjasa di RSIA, lanjut Teguh, adalah dokter Satra. Sebab dokter Satra yang seharusnya diangkat sebagai dokter negeri, tapi memilih mengabdi di RSIA hingga sekarang. “Terus terang saya terharu melihat perkembangan rumah sakit ini sekarang,”pungkasnya.
Rasa haru dokter Teguh itu mengingat pembangunan tahap pertama yang modelnya seperti arisan. Kamar dijual siapa yang bersedia menyumbang satu kamar, diantaranya adalah Bapak Pungky Ariwibowo. (don)