Membangun Kawasan Perdesaan Mengarah kepada Kemandiriannya
Oleh: Sri Rahmania, Mahasiswa Akuntansi, Universitas Muhammadiyah Malang
Perbincangan terkait UU Desa No. 06 Tahun 2014 dan PP 43 Tahun 2014 berusia ini tidak dapat dihindari. Dana Rp1,4 miliar yang dimandatkan oleh UU melahirkan 2 perspektif di berbagai kalangan, terutama masyarakat desa. Pertama, apakah dana tersebut secara langsung ataupun tidak mengalir ke desa. Kedua, apakah mekanisme pencairannya bertahap ataupun tidak. Perdebatan ini menjadi hangat diperbincangkan manakala UU Desa ini akan diterapkan pada tahun 2015.
Semangat guna menyelenggarakan akselerasi kesejahteraan warga desa dalam UU Desa tidak dapat dimungkiri. Perihal ini sebagaimana tertuang dalam pasal 4 mengenai Pembangunan Desa UU Nomor. 6 Tahun 2014: a) memberikan pengakuan serta penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya saat sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; b) memberikan kejelasan status serta kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; c) melestarikan serta memajukan adat, tradisi, serta budaya warga desa; d) mendorong prakarsa, gerakan, serta partisipasi warga desa untuk pengembangan kemampuan serta potensi desa guna kesejahteraan bersama; e) membentuk pemerintahan desa yang profesional, efektif serta efisien, terbuka, dan bertanggung jawab; f) meningkatkan pelayanan publik untuk warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; g) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial selaku bagian dari ketahanan nasional; h) memajukan perekonomian warga desa dan menanggulangi kesenjangan pembangunan nasional; serta i) menguatkan warga desa sebagai subjek pembangunan.
Oleh sebab itu perlu diapresiasi bahwa semangat UU ini merupakan terobosan baru agar stigma terhadap penduduk desa jika desa menjadi hunian dimana masyarakatnya memiliki SDM rendah, ketinggalan akses data, terbelakang serta kemiskinan, jadi menghilang. Itu semua menjadi potret kelam yang seringkali disematkan kepada penduduk desa. Tentu penilaian ini di satu sisi mempunyai keabsahan yang tidak dapat dibantah.
Munculnya gerakan arus urbanisasi menimpa penduduk desa mengadu nasib ke kota menjadi contohnya. Bahwa desa tidak dapat memberikan jaminan hidup serta kesejahteraan hidup untuk sebagian besar yang dialami oleh penduduk desa. Maka wajar manakala desa dipandang sebelah mata dan dinilai terbelakang oleh mayoritas orang yang dinilai tidak prospek dalam memberikan jaminan kesejahteraan untuk masa depannya.
Menjadi keniscayaan bahwa mendorong desa menjadi sejahtera serta mandiri merupakan tanggung jawab seluruh pihak. Tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, baik desa ataupun pemerintah wilayah saja, melainkan keterlibatan seluruh pihak menjadi mutlak adanya. Perlu kiranya merinci secara detail apa itu yang diartikan dengan mandiri dan kesejahteraan. Hal ini penting sehingga tidak melahirkan multitafsir, kriteria serta ukuran kesejahteraan dan kemandirian itu bersifat abstrak, yang sulit untuk dideskripsikan. Dengan demikian cita-cita UU Desa itu mengenai kesejahteraan masyarakat serta kemandirian itu tidak sekedar ilusi serta mimpi yang sulit dicapai.
Meminjam sebutan Midgley (1997:5) dalam Isbandi Rukminto bahwa kesejahteraan sosial kondisi ataupun keadaan hidup manusia yang terbentuk ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik ketika kebutuhan manusia terpenuhi serta ketika peluang sosial dapat maksimalisasi. Hal ini juga dipertegas dalam UU No. 11 Tahun 2009 Pasal I ayat (a) Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Kawasan Perdesaan Serta Tantangan
Spirit UU Desa dalam melahirkan desa maju serta mandiri pasti tidak dapat dilakukan secara parsial. Jalan terjal membangun desa tentu akan menjadi bagian dari dinamika penduduk desa dalam mengawal perubahan di mana jika sebelumnya desa hanya memikirkan mengenai desanya sendiri tanpa banyak memikirkan dan melakukan sinergi-koordinasi serta komunikasi dengan desa-desa lain ataupun desa tetangga yang secara geografis berdekatan. Pembangunan desa kawasan merupakan ikhtiar baru pemerintah untuk mengarah kemandirian desa.
Adalah Mohammad Solekhan dalam bukunya Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis Partisipasi Masyarakat (2014: 70-71) bahwa pembangunan kawasan perdesaan ialah perpaduan pembangunan antar desa dalam satu kabupaten yang meliputi. Pertama,penggunaan serta pemanfaatan wilayah desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan sesuai dengan tata ruang kabupaten/kota. Kedua, pelayanan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Ketiga, pembangunan infrastruktur, peningkatan ekonomi perdesaan serta pengembagan teknologi tepat guna. Keempat, pemberdayaan warga desa untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan serta artivitas ekonomi.
Orientasi pembangunan kawasan perdesaan tersebut merupakan mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan pembangunan serta pemberdayaan masyarakat desa di kawasan perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif. Mandat UU Desa mengenai desa kawasan sebagai langkah progresif, dimana selama ini pembangunan yang sektoral dan egosentris bisa dieliminir secara perlahan-lahan. Impian kemandirian desa melalui sinergi serta kerja sama antara desa dalam rangka mempercepat kesejahteraan warga desa menjadi kebutuhan yang mendesak dan mutlak.
Pembangunan penerapan kawasan perdesaan itu dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah kabupaten/kota melalui satuan kerja perangkat daerah, pemerintah desa maupun BUMD dengan mengikutsertakan warga desa tentu dalam penerapan teknis di lapangan bahwa pembangunan kawasan perdesaan wajib memaksimalkan sumber daya alam setempat, sumber daya manusia setempat.
Dengan adanya mandat UU bahwa desa kawasan ialah jangkar ekonomi desa dapat berkembang secara kuat. Pembangunan manusia dari sisi keterampilan dan kemampuan SDM wajib bersenyawa dengan perkembangan serta kemandirian ekonomi. Maka dari itu, aktivitas serta pengembangan ekonomi desa dapat berkolaborasi secara elegan yang bisa dilakukan oleh beberapa desa.
Maka jawaban mengenai desa kawasan seperti yang diamanatkan dalam UU Desa mengenai kerjasama antar desa ataupun dengan pihak ketiga. Wujud kerjasama meliputi: 1) pengembangan usaha bersama yang dimiliki oleh desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing; 2) aktivitas kemasyarakatan, pelayanan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat antar desa dan/atau; 3) bidang keamanan serta ketertiban. Sedangkan terkait kerja sama pihak ketiga dimaksudkan untuk mempercepat dan meningkatkan penyelenggaraan pemerintah desa, penerapan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa serta pemberdayaan warga desa.
Dalam perihal ini yang lebih memungkinkan dilakukan adalah bahwa pihak ketiga yang diartikan adalah bisa saja menggandeng perguruan tinggi yang ahli dan memiliki kualifikasi disiplin keilmuan mengenai permasalahan sosial, pengembangan masyarakat serta teknis pendampingan baik mikro, makro. Begitu pula bekerja sama dengan para aktivis LSM yang mempunyai konsen dalam pemberdayaan warga serta pemetaan sosial. Sehingga sinergi pembangunan desa tidak hanya menjadi domain pemerintah saja namun terdapat pihak luar yang lebih objektif dalam melaksanakan pengembangan pembangunan desa. Mudah-mudahan dengan impian membangun kawasan perdesaan selaku ikhtiar progresif serta profetik dalam membangun kesejahteraan warga desa yang sebenar-benarnya. (*)