Kawan Netra Surabaya, Tempat Ngaji Al Quran Braile Mumtaz Hafidznya
TABLOIDMATAHATI.COM, SURABAYA-Ini merupakan sarana muhasabah diri bagi mereka yang masih enggan membaca Al Qur’an dan menghafalnya. Sebab di Putroagung Surabaya berdiri Yayasan Urunan Kebaikan yang mempunyai program memberantas buta huruf hijaiyah bagi tuna netra dengan mendampingi mereka ngaji Al Qur’an braile. Pendampingan ini secara gamblang dijelaskan penanggung jawab Kawan Netra, Gusti Mohammad Hamdan Firmanta, ST, M.Sn, tadi sore.
Kawan netra ini dikatakan Gusti merupakan pendamping para tuna netra yang menjadi falisitator mereka untuk mengembangkan bakat dan talenta yang dimilikinya. Program para tuna netra ini ternyata sangat banyak. Seperti khataman Al Qur’an, termasuk pemberantasan buta huruf Al Qur’an braile. Dari sinilah baru disadari bahwa masih banyak tuna netra yang belum bisa membaca Al Qur’an braile.
Bahkan data Kawan Netra disebutkan Gusti tuna netra di Indonesia hampir 90 persen tidak bisa membaca Al Qur’an braile. Sebab sebagian besar dari mereka ini tidak buta sejak lahir. Sehingga mereka belum sempat mengenyam pendidikan luar biasa. Akibatnya tidak membaca huruf braile apalagi Al Qur’an braile.

Berangkat dari realitas ini, lanjut Gusti mereka ingin agar Kawan Netra menjadi pendamping untuk memberantas buta huruf Al Qur’an braile. Permasalahannya tidak banyak ustadz tuna netra yang dapat ngaji Al Qur’an braile. Nah dari sinilah akhirnya Kawan netra mengadakan pelatihan guru ngaji Al Qur’an braile. Sehingga ada tambahan sekitar 22 guru yang bisa mengajar Al Qur’an braile.
Masalah berikutnya, ucap Gusti adalah transportasi karena jarak tempat mengaji yang berjauhan. Sehingga tuna netra yang akan mengaji kesulitan finansial jika harus datang karena minimnya pendapatan di masa pandemi. Solusinya Kawan Netra mendirikan beberapa titik mewakili Subaya wilayah barat, timur, selatan dan utara dan pusat. Jumlahnya sekitar 6 titik yang saat ini sudah terlaksana. Bahkan ada fasilitas antar jemput bagi santri tuna netra saat ngaji di enam titik tersebut.

Menurut Gusti satu titik ngaji tersebut minimal terdapat 4 santri tuna netra dan paling banyak sekitar 16 orang tuna netra. Santri ini paling muda usia taman kanak-kanak hingga usia 60 tahun. Menariknya dari santri tuna netra ini banyak yang sudah hafidz beberapa juz Al Qur’an. Sebab mereka hanya mendengarkan (muroja’ah) lalu dihafal, justru mereka banyak yang belum bisa membaca Al Qur’an braile ini.
Tantangan para ustadz ketika mengajar santri tuna netra diungkapkan Gusti salah satunya tidak bisa dilakukan secara online. Sebab ustadznya adalah tuna netra dan santrinya tuna netra. Sehingga ketika ngaji braile virtual apa yang dipegang santri tidak bisa dilihat oleh ustadznya. Ustadz ngaji Al Qur’an braile Kawan Netra ini berjumlah 10 orang yang sekarang mengajar, sementara jumlah keseluruhannnya sekitar 24 orang. Hanya saja mereka belum mengajar disebabkan di daerah wilayahnya belum ada yang mengaji.
Tempat yang digunakan mengaji tersebut, tambah Gusti ditempatkan di mushalla, rumah pribadi, donatur, hingga sekretariat tuna netra. Dalam sepekan pertemuan dilakukan dua kali dalam satu rombongan belajar. Dari dua kali pertemuan ini ternyata sangat efektif dengan output tuna netra yang awalnya tidak dapat membaca Al Qur’an braile akhirnya bisa lancar membacanya hingga tahfidz istimewa. (doni osmon)