Islam dan Ilmu Pengetahuan
Oleh: Uswatun Chasanah, Mahasiswa Ilmu Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Achmad Dahlan, Dosen Program Studi Farmasi, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang
Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini dunia barat adalah sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan teknologi, munculnya dunia Barat sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan teknologi, membawa persoalan serius karena pengembangan ilmu dan teknologi di Barat bercorak sekuler sehingga memunculkan ekses negatif seperti; sekularisme, materialisme, hedonisme, individualisme, konsumerisme, rusaknya tatanan keluarga, pergaulan bebas, dan penyalahgunaan obat terlarang.
Bagaimana Islam dalam Ilmu pengetahuan? Dalam perspektif Islam, ilmu merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha yang sungguh-sungguh (ijtihād) dari para ilmuwan muslim (‘ulamā’/mujtahīd) atas persoalan- persoalan duniawī dan ukhrāwī dengan bersumber kepada wahyu Allah. Penekanan besar pada pengejaran pengetahuan oleh umat Islam mencapai masa kejayaan antara abad ketujuh hingga kelima belas. Ibnu Sina, AlKhawarizmi, dan Al-Biruni, yang selain unggul dalam kajian teks-teks agama juga unggul dalam matematika, geografi, astronomi, fisika, kimia, dan kedokteran. Pada masa tersebut Islam bukan hanya seperangkat keyakinan agama, tetapi seperangkat ide, etika, dan cita-cita yang mencakup semua aspek kehidupan manusia. Hal ini mengakibatkan berdirinya peradaban Islam. Namun peradaban ini hancur setelah adanya penafsiran yang kurang tepat dari pembagian ilmu yang dilakukan oleh Al-Ghazali oleh para pengikutnya.
Terdapat perbedaan yang mendasar tentang konsep ilmu pengetahuan dunia barat dan Islam, jika dunia barat sumber ilmu pengetahuan hanya berdasarkan alam fisik, sementara Islam berdasarkan alam fisik dan non fisik. Dalam epistemologi Islam, ilmu pengetahuan bisa dicapai melalui tiga elemen; indra, akal, dan hati/intuitif, sedangkan dalam epistomologi Barat ilmu pengetahuan dicapai melalui indra dan akal saja. Selain itu Islam memiliki landasan yang kokoh melalui ai-Qur’an dan Sunnah. Singkatnya, Ilmu Barat hanya bersifat duniawi, sedangkan cakupan ilmu dalam Islam sangat luas, tidak hanya menyangkut persoalan-persoalan duniawi, namun juga terkait dengan permasalahan ukhrāwi.
Ada bebrapa sudut pandang untuk penggolongan ilmu. Berdasarkan kewajiban untuk mempelajarinya, maka Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua yakni sebagai ilmu fardlu’ain dan ilmu fardlu kifayah. Ilmu fardlu’ain wajib dipelajari setiap muslim terkait dengan perbuatan wajib, seperti tata cara sholat, berpuasa, bersuci dan sejenisnya, sedangkan ilmu fardlu kifayah adalah ilmu yang harus dikuasai demi tegaknya urusan dunia seperti ilmu kedokteran, astronomi, pertanian, dan sejenisnya. Yang terakhir, Konferensi Dunia tentang Pendidikan Islam II di Islamabad Pakistan tahun 1980 merekomendasikan pengelompokan ilmu menjadi dua macam, yaitu; ilmu perennial/abadi (naqlīyah) dan ilmu acquired/perolehan (‘aqlīyah). Yang termasuk dalam kelompok ilmu perennial adalah ; al-Qur’ān Sedangkan yang termasuk dalam ilmu acquired adalah; Seni, Ilmu-ilmu Intelektual/studi sosial teoritis, Ilmu-Ilmu Alam/teoritis, Ilmu-Ilmu Terapan dan Ilmu-Ilmu Praktik.
Lantas bagaimana dengan dikotomi ilmu yang banyak dipahami oleh masyarakat yang membedakan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan dan menganggap keduanya adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan, bahwa ilmu agama adalah ilmu akhirat sedangkan ilmu pengetahuan adalah ilmu dunia? Menyikapi hal ini maka harus ada gerakan menghidupkan kembali etos kelimuan oleh para cendekiawan muslim dengan menoleh sejarah pada masa keemasan peradaban Islam. Kemudian bagaimana islam menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan yang sekarang ini semakin berkembang pesat? Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan dengan tidak menggunakan paradigma sekuler, aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idah fikriyah)/standar bagi seluruh ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan Syariah Islam sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari seperti pemilihan penggunaan vaksin yang sudah berlabel halal. Dengan demikian maka kemashalatan umat akan bisa tercapai dengan baik karena berjalan sesuai syariat Islam. Islam Rahmatan lil ‘Alamin, Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. (*)