Bukan Untuk Dilumrahkan, Stand Up and Speak Up
Oleh: Novbelva Nariswari Wicasana Putri, mahasiswa Prodi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang
Kasus pelecehan seksual menjadi permasalahan yang masih kurang sekali mendapatkan perhatian dari masyarakat dan Lembaga hukum. Tindakan asusila kini kian marak terjadi, bisa terjadi dimanapun dan kapanpun bahkan lingkungan yang kita anggap itu aman sekalipun juga berkemungkinan berbahaya. Korban pelecehan seksual tidak hanya didapat oleh perempuan, tak sedikit dari kasus tersebut dialami juga oleh kaum laki-laki.
Pelaku pelecehan masih bisa bebas berkeliaran di depan umum, sedangkan korban mendapat penekanan batin dari diri sendiri, dan masyarakat yang membuat mereka menjadi pribadi yang tertutup. Penekanan dari diri sendiri ini membuat tekanan jiwa mental mereka terganggu. Tidak heran, jika kasus kematian dan gangguan mental banyak diderita oleh anak muda apalagi kaum perempuan.
Lontaran kalimat dari pelaku atau orang sekitar terkadang membuat penekanan dan ketakutan dalam diri korban untuk tidak berani menceritakan kasus pelecehan yang mereka dapat ke khalayak umum. Ketakutan akan ancaman dan cacian semakin membuat para korban untuk membuka suaranya dengan identitas asli. Mengatasi hal tersebut, Platform sosial media terkadang mereka jadikan sebagai wadah
pengaduan yang mereka alami. Sosial media menjadi ruang pengaduan dan sharing untuk mereka para korban pelecehan maupun kekerasan seksual. Sejatinya yang para korban butuhkan dalam hal ini adalah bentuk kepedulian dan dukungan dari sekitar untuk membuat mereka berani bangkit dan bersuara. Dukungan dari pengguna sosial media diberikan dalam postingan hastag. Hastag yang ada membantu mengangkat kasus tersebut menjadi trending topic pada linimasa. Terangkatnya hastag akan memancing perhatian dari viewers serta pihak berwajib untuk tegas dalam menindak kasus tersebut.
Kini beberapa perempuan berani bersuara melalui media sosial. Ini bukan hanya menjadikan media sosial sebagai ruang speak up bagi korban, namun juga bisa menjadikan media sosial sebagai ruang untuk menyambungkan bagi para korban kepada layanan hukum untuk mendapatkan kebebasan dan keadilan yang seharusnya mereka dapatkan.
Beberapa sejumlah lembaga membuka layanan penanganan pengaduan kekerasan seksual melalui email dengan tujuan mempermudah bagi para korban untuk speak up tanpa harus datang langsung ke komnas perempuan. Dengan hal ini menunjukkan bahwa keberanian korban harus terus kita dukung sampai kasusnya selesai. Bukan hanya itu, dukungan dari publik pun bisa menjadi salah satu cara untuk mendesak pihak-pihak yang berwenang untuk segera memberikan keadilan bagi para korban.
Penindakan kasus pelecehan seksual apakah hanya dilakukan oleh pihak kepolisian saja? Tidak. Dalam hal ini negara sebenarnya sudah memiliki Lembaga yang khusus menegakkan hak asasi bagi para perempuan bernama Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan). Dikutip dari situs resmi Komnas Perempuan, Komnas Perempuan dibentuk pada tanggal 9 Oktober 1998, melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005.
Komnas Perempuan muncul dari tuntutan masyarakat, terutama dari kaum perempuan kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menanggapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan sebagai wadah dalam mengembangkan mekanisme HAM untuk upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Sejak tahun 2018-2022 Komnas Perempuan sudah menerima banyak kasus perempuan berhadapan dengan hukum dengan rentang usia mulai dari 7 tahun sampai 53 tahun. Dengan latar belakang pekerjaan yang beragam, mulai dari ibu rumah tangga, pelajar/mahasiswa, guru, buruh, hingga aktivis. Bentuk-bentuk kekerasan yang sering dialami oleh para korban adalah kekerasan psikis, fisik, seksual dan ekonomi.
Lembaga berwajib dan Komnas yang ada masih belum mengatasi kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi. Terlebih dilingkungan kampus masih banyak kasus pelecehan seksual dengan banyaknya korban dialami oleh para mahasiswa/i. Berita kekerasan seksual di beberapa kampus di Indonesia sampai sekarang masih terus bermunculan.
Bahkan kasus kekerasan seksual tersebut dari tahun ke tahun terus meningkat tanpa ada penanganan lanjut dari pihak kampus. Dimana kampus sebagai tempat pusat peradaban seharusnya menunjukkan perannya. Justru hal tersebut malah dianggap aib dan bisa merusak citra baik kampus. Hal ini yang membuat pihak kampus bingung, bahkan terkesan tidak peduli terhadap laporan korban. Fakta tersebut tentu cukup memprihatinkan, hal ini menunjukkan jika pihak civitas akademika belum memiliki pandangan yang berpihak pada korban. Penindaklanjutan dari pihak wewenang pun tidak selalu memberi hasil akhir yang baik bagi para korban. Para korban terkadang menyesal melapor, karena tidak semua pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya.
Seperti contohnya yang sedang ramai di tahun 2021, Salah seorang mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau diduga menjadi korban pelecehan seksual dari oknum dosen pembimbingnya. Informasi tersebut disampaikan korban melalui Instagram @mahasiswa_universitasriau. Postingan tersebut viral dan sudah ditayangkan lebih dari ribuan kali. Dalam video tersebut korban menyampaikan kronologi dirinya sampai bisa mendapatkan perilaku tak senonoh dari oknum dosen pembimbingnya tersebut di dalam ruangan dekan FISIP Unri.
Korban mengatakan bahwa dia merasa tidak ada perlindungan dan kepedulian dari pihak jurusan. Bahkan dia juga mengatakan ada yang melindungi oknum dosen pembimbing tersebut dan mirisnya pihak kampus tidak memperdulikan kasus yang sedang terjadi.
Korban juga mengaku, baik Ketua Jurusan dan salah satu dosen di kampusnya tidak memperbolehkan dia untuk speak up dan menceritakan kepada orang lain. Korban telah mencoba melakukan konfirmasi kepada oknum dosen pembimbing tersebut, namun tidak direspon. Beberapa kali panggilan telpon dilakukan, namun tak ada jawaban. Pun ketika dikonfirmasi melalui WhatsApp, tidak ada jawaban. Korban juga mencoba menghubungi Rektor Unri, namun juga belum mendapatkan respon.
Berkaca dari kasus yang telah terjadi, apa yang harus dilakukan oleh pihak kampus?
Peran kampus dalam menyikapi kasus kekerasan seksual yang kian marak terjadi yakni dengan melakukan beberapa penekanan dan pencegahan seperti, memberikan peringatan tegas atau sanksi tegas bahwa kampus sama sekali tidak menoleransi adanya tindakan kekerasan seksual. Pihak pengelola perguruan tinggi juga harus mampu menyediakan beberapa sarana dan prasarana yang memadai, yakni dengan menyediakan tempat pengaduan dan pelaporan bagi para korban kekerasan seksual. Pimpinan perguruan tinggi juga harus membentuk satuan tugas khusus. Satuan tugas khusus ini mempunyai tugas untuk memastikan korban mendapatkan perlindungan sepenuhnya.
Berawal dari diri kita sendiri, setidaknya lebih peka kepada lingkugan sekitar, aware dengan diri sendiri untuk tetap berhati-hati. Pelecehan seksual bukanlah kasus yang mudah diterima, banyak dampak yang akan terjadi kepada korban di hidupnya. Mulai dari gangguan mental bahkan trauma yang akan mereka dapatkan nantinya.
Menghilangkan trauma bukan hal yang mudah dilakukan. Pelecehan seksual adalah kasus dari segala kasus yang sampai sekarang kurang mendapatkan perhatian khusus dari lingkungan sekitar bahkan dari pihak berwenang. Pelecehan seksual bukan sebuah aib yang harus ditutupi, Stand Up and Speak Up. Mendiamkan kejahatan yang terjadi sama saja kita mendukung kejahatan itu sendiri. Kita tidak perlu menjadi korban kekerasan untuk peduli dengan nasib perempuan.
Mau sampai kapan kita diam saja, disaat banyak perempuan membutuhkan uluran jabatan tangan kita. Kita cuma perlu hati yang penuh kasih dengan orang lain agar tidak menjadi orang yang buta nurani. Jangan biarkan korban berkeliaran tanpa adanya tindak lanjut, jangan sampai terjadi lagi korban selanjutnya. Untuk diri kita sendiri dan untuk kebaikan bersama. (*)
Penulis: Novbelva Nariswari Wicasana Putri, NIM: 202210110311385, mahasiswa prodi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang. Opini ini dibuat sebagai tugas kuliah.