Ber-Idul Fitri di Masa Pandemi
oleh : M. Syarif Hidayatullah, Penyuluh Agama Islam pada Kantor Kementerian Agama Kota Batu.
SEJAK matahari akhir Ramadhan tenggelam di ufuk barat dan petang datang menghampiri..semesta bertakbir mengumandangkan asma Allah seraya mengagungkan-Nya serta bersyukur atas segala nikmat dan karunia-Nya.
…وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
…dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah : 185)
1 Syawwal adalah hari kemenangan khususnya bagi mereka orang-orang beriman yang telah menjalankan perintah Tuhannya dengan berpuasa selama sebulan penuh melawan hawa nafsu, mengendalikan diri dari segala hal yang menjerumuskannya pada lembah kemaksiatan, memperbanyak amal saleh, mendekatkan diri kepada Allah siang dan malam dengan mengharap ridho dan ampunan-Nya.
Hari Raya Idul Fitri adalah hari kegembiraan (يَوْمُ فَرِحٍ) terutama bagi mereka yang berpuasa. Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. :
..وللصائم فرحتان يفرحهما إذا أفطر فرح بفطره وإذا لقي ربه فرح بصومه. رواه البخاري ومسلم
“..bagi orang yang berpuasa dua kegembiraan, gembira ketika beridul fitri dan gembira dengan pahala puasanya ketika berjumpa dengan Tuhannya di akhirat kelak.
Kita bergembira karena telah menyempurnakan ibadah puasa bukan karena kita telah keluar dari bulan suci Ramadhan. Inilah yang harus kita sadari dan mendapat perhatian kita bersama. Ketika kita bergembira karena telah menyempurnakan ibadah puasa maka itu berarti adanya pengalaman spiritual yang luar biasa yang baru saja kita peroleh selama bulan Ramadhan. Dan itu akan berdampak positif pada kehidupan kita setelah Ramadhan. Tetapi ketika kita bergembira karena telah keluar dari bulan suci Ramadhan, maka itu menunjukkan betapa kehadiran Ramadhan seakan menjadi beban berat yang kita pikul sehingga kita berharap agar bulan ini segera berakhir.
Orang-orang yang beriman tidak sepatutnya bergembira karena Ramadhan telah berakhir, bukankah Ramadhan adalah tamu agung (ضيف كريم), bulan keberkahan (شهر مبارك), bulan yang di dalamnya diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam yaitu Laitul Qadr yang lebih baik dari seribu bulan, bulan yang diturunkannya rahmat dan ampunan Allah.
Oleh karena itu hari Idul Fitri pada hakekatnya adalah hari kegembiraan sekaligus sebagai hari kesedihan. Hari kesedihan karena Ramadhan dengan segala kemuliaan dan keberkahannya baru saja meninggalkan kita, dan ia akan kembali menghampiri kita lagi setelah 11 bulan kita menunggu. Akan tetapi kita tidak tahu apakah kita nanti kita masih berada di alam dunia atau sudah berada di alam barzakh, kita hanya bisa berdoa dan memohon kepada Allah agar dipertemukan kembali dengan Ramadhan yang mulia itu.
اللهم بلّغنا رمضان ..Ya Allah sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan, amin
Dalam menyambut hari raya Idul Fitri ini ada ungkapan dalam bahasa Arab yang sangat populer yang menjelaskan kepada kita tentang hakekat Idul Fitri, ungkapan itu sebagai berikut :
“ليس العيد لمن لبس الجديد…إنما العيد لمن إيمانه يزيد…وخاف يوم الوعيد…واتق للعرش المجيد
”Bukanlah hari raya itu dengan berpakaian baru nan mewah, sesungguhnya hari raya itu bertambahnya iman dan taqwa, dan mempersiapkan diri untuk hari yang dijanjikan yaitu akhirah, serta bertakwa kepada Tuhan pemilik Arsy yang mulia”
Ungkapan ini menjelaskan kepada kita bahwa hakekat idul fitri itu adalah bertambahnya iman dan ketakwaan kita kepada Allah, setelah sebulan penuh kita melatih diri dengan berbagai materi latihan agar kita menjadi orang yang bertakwa. لعلكم تتقون atau لعلهم يتقون . Menarik untuk kita simak bahwa ayat pertama yang berbicara tentang puasa pada surat al-Baqarah : 183 ditutup dengan kalimat لعلكم تتقون agar kamu bertakwa. Dan ayat terakhirnya pada al-Baqarah : 187 ditutup dengan kalimat لعلهم يتقون agar mereka bertakwa. Ini berarti bahwa tujuan disyariatkannya puasa –dan juga ibadah-ibadah yang lain- adalah agar kita menjadi orang yang bertakwa. Orang yang bertakwa adalah orang yang mampu memelihari diri dari segala bentuk kemaksiatan kepada Allah baik kemaksiatan karena meninggalkan perintah-perintahNya seperti shalat, zakat, puasa dan lain sebagainya, maupun karena melanggar larangan-larangNya seperti mencuri, membunuh, berzina, korupsi dan lain sebagainya. Sudah tentu ketakwaan itu juga harus kita kedepankan ketika kita merayakan Idul Fitri.
Umumnya masyarakat kita, ketika menyambut datangnya Idul Fitri lebih mengutamakan apa yang penulis istilahkan dengan 4F, yaitu Fashion (Pakaian), Food (Makanan), Furniture (Perabot Rumah Tangga) dan Fun (Hiburan). Keempat hal tersebut bukanlah hal yang prinsip dalam rangka menghayati makna Idul Fitri. Hal tersebut hanyalah pelengkap dan tidak harus menjadi prioritas. Hal yang prinsip dalam merayakan hari kemenangan itu adalah ketulusan hati kita untuk meningkatkan kualitas iman dan takwa serta kesiapan kita untuk membina hubungan baik dengan sesama manusia.
Di masa pandemi COVID 19 yang belum juga berakhir hingga hari ini, hendaknya kita dapat menyikapi hari raya sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Bulan Ramadhan adalah bulan pengendalian diri, baik dari hal-hal yang dihalalkan Allah seperti makan, minum dan hubungan suami-istri, terlebih terhadap hal-hal yang diharamkan Allah. Jangan sampai setan dan para pengikutnya melalaikan kita dalam kehidupan duniawi yang sarat dengan godaan materi. Allah mengingatkan kita semua dengan firman-Nya :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَّا يَجْزِي وَالِدٌ عَن وَلَدِهِ وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَن وَالِدِهِ شَيْئًا إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (setan) memperdayakan kamu dalam (menaati) Allah”. (QS Luqman : 33)
Meluasnya pandemi COVID 19 ini berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi yang memprihatinkan. Banyak saudara-saudara kita yang kehilangan pekerjaan karena di PHK. Di sinilah pentingnya umat Islam untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (at-ta’awun ‘alal birri wat taqwa), dan di sinilah pentingnya peran dan fungsi zakat, infak dan shadaqah dalam kehidupan umat Islam, terutama zakat fitrah yang kita keluarkan sebelum idul fitri itu, agar orang-orang yang tak berpunya di antara kita dapat ikut merasakan kegembiraan di hari kemenangan ini.
Makanan, pakaian, tempat tinggal atau hiburan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi kapan dan di manapun ia berada. Termasuk pada saat merayakan Idul Fitri. Kita tidak menafikan itu semua. Allahpun tidak pernah mengharamkan hal tersebut kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah berfirman dalam surat Al-A’raf : 32 tentang hal ini dengan nada bertanya :
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللّهِ الَّتِيَ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالْطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِي لِلَّذِينَ آمَنُواْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (al-A’raf : 32)
Akan tetapi sebagai orang yang beriman, kita diperintahkan untuk mengendalikan diri sebagai buah dari ketakwaan kita. Agar kita tidak berlebih-lebihan baik dalam makanan, maupun dalam berpakaian. Allah berfirman :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (al-A’raf : 31).
Karena itu pakaian yang kita kenakan pada hari fitri ini, atau makanan yang kita makan dan yang kita berikan kepada saudara-saudara kita yang terdampak pandemi khususnya, hendaklah dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan kualitas keimanan. Di tengah situasi seperti ini kita berusaha sedapat mungkin untuk menghindarkan diri dari sikap boros (tabdzir) tetapi kita juga tidak dibenarkan berlaku kikir (bakhil).
Silaturrahmi, bermaaf-maafan, bersalam-salaman adalah tradisi kita dalam beridul fitri. Kita lakukan hal-hal tersebut agak berbeda di tahun ini. Karena adanya larangan mudik, himbauan berdiam di rumah, menjaga jarak, menggunakan masker dan mengindari kerumunan. Semua itu kita lakukan sebagai ikhtiar memutus rantai penyebaran COVID 19. Namun demikian hal itu tidak akan mengeliminir nilai silaturahim kita. Karena yang terpenting, silaturahim yang kita lakukan apapun keadaannya haruslah mendatangkan kecintaan dan menghilangkan kebencian, merajut tali kasih dan mengikis kedengkian yang ada, menghadirkan kepedulian terhadap sesama, menimbulkan rasa saling menghargai dan menghormati dan menghindarkan permusuhan. Itulah makna silaturrahmi dalan ajaran agama kita.
Semoga kita termasuk orang-orang yang menang (al-Faaizun), orang-orang yang bertakwa (al-Muttaqun) dengan memaafkan kesalahan orang lain dan senantiasa berbuat baik terhadap sesama, karena itulah antara lain ciri orang yang bertakwa. Sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat Ali-Imran : 134 sebagai berikut :
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Akhirnya, kita berharap semoga pandemi ini segera berakhir dan kita dapat menjadikannya sebagai momentum muhasabah untuk memperbaiki diri di masa yang akan datang. Taqabbalullahun minna wa minkum shalihal a’mal kullu ‘aamin wa antum bi khair. (*) Penulis: Wakil PDM Kota Batu Bidang Tarjih Pustaka dan Informasi, Corps Muballigh Muhammadiyah-85